# Episode 2
Deskripsi wanita titisan Dewi
Padi yang sempat terhenti pada episode 1 harus segera kuselesaikan, permintaan
dari beberapa hati yang syahdu. Seperti layaknya tumpukan batang kawat yang
berpadu menjadi kerangka payung yang menjadi tumpuan bagi beberapa inci kain,
mampu menjadikan keteduhan dari geramnya sang matahari mencoba membakar
kulitmu, demikianlah jalinan di antara kami akibat adanya tiang kawat yang
menjadi poros kami-sang kawat dapat bersatu. Tentu saja tiang kawat yang
kubicarakan adalah sang Dewi Padi.
Perjalanan musa pastilah tidak
akan berhasil jika kakaknya harun tidak senantiasa mendampingi. Rumah yang
posisinya di tengah itu, merupakan oase bagi kami yang udik. Di sana, bukan
sekedar mendapatkan petuah, nasehat, tapi juga tempat bermain dan membuat
janji-janji. Jendelanya yang nan indah, teralinya yang berupa-rupa, serta
gordennya yang memesona, menjadi lokasi favorit kami hampir setiap setengah
lima setiap harinya. Tak lain karena di sana sudah berdiri sang bocah yang
sebenarnya memiliki daya tarik setingkat gegana. Kemampuannya untuk menarik
kami memperhatikan dia seakan magnet dua kutub, dimana medan magnet yang
terjadi telah menimbulkan gaya gerak listrik berkekuatan 1000 volt. Justru anak inilah sebenarnya yang menjadi
bintang dari seluruh rangkaian kehidupan yang bercorak di residence ini. Tingkah
polahnya yang terlalu menghibur, malah jenius menurutku sering menjadi
kegemaran yang kami rindukan. Ia mampu menyatukan minat dan kebiasaan kami,
tentu saja dengan seluruh jiwa yang pernah menjalani masa hidup di area itu.
Benar-benar luar biasa.
Tentu saja Kumpulan rumah penuh
senyum ini bukanlah hanya Dewi Padi dan si bocah gegana, melainkan juga seorang
ayah penuh kasih yang mampu memberikan gambaran seorang pria komplikasi. Kamu
bisa melihat sosok kakak lelaki, ayah, dan juga teman yang baik. Sang ayah
mampu menjalankan perannya dengan kompilasi.
Dan kamipun sang manusia udik
mendapat anugerah dari keluarga penghuni rumah penuh senyum ini.
Suara gelak yang rusuh menggema
ke ruangan sebelah yang sebagian dindingnya terbuat dari bahan triplek, tak
pelak membuat para jamaah putri yang selalu memancarkan semerbak harum setanggi
melongokkan kepala mencari tahu penyebab keributan yang terjadi. Sekedar
menilik, beberapa diantara mereka justru turut menjadi pelaku keributan
selanjutnya yang malah setingkat diatas yang pertama. Sepotong senyum di sertai
lirikan penuh bahasa dari wanita sopan-dewasa,
akan kami jumpai jika kebisingan yang tercipta akan naik tingkat .
Ketenangan dan kelembutan sifatnya yang dalam, mungkin merupakan warisan nenek
moyang yang tidak di buat-buat. Aku biasa menyebutnya “sang dosen” yang di
dukung oleh profesinya yang memang seorang dosen saat itu. Seumpama ulah kami
tidak berhenti sampai di situ, barulah beberapa hati yang terusik akan segera
menghampiri, menegur, atau bahkan jika kami sedang sial, akan langsung
mandamprat dengan beberapa frasa yang asin. Sampai saat ini, aku sering
terkenang-kenang dalam peraduan seberapa dalam perseteruan yang terjadi antara
kami dengan tetangga si frasa asing ini. Mulai dari kain lap yang pantang
tersangkut di pagarnya, daun kering dari pohon mangganya yang selalu nongkrong
di halaman rumah kami tapi tidak
kebagian buahnya, sampai keisengan kami mengganggu kelangsungan hidup sang
buah. Hmm, sungguh menggelikan. Efek yang timbul adalah nuansa yang janggal
untuk saling melempar senyum.
Puluhan
tikus kecil pernah menjadi thema pembicaraan yang populer di antara sesame
kami. Aku hampir tidak dapat menghitung seberapa sering kami akan berdiskusi
dengan hangat, hanya dengan membahas ulah hewan kecil yang kala itu sangat terkenal
dengan nama “cirurut”. Makhluk kecil ini memang cukup fantastik, mampu membuat
kami berteriak-teriak, melompat-lompat, bahkan tak jarang kami berkejar-kejaran
tak tentu arah. Bentuknya mungil, moncongnya runcing, dan yang paling
menjijikkan bagiku, perutnya yang cukup buncit karena buas menjarah apa saja
yang ada dalam rumah. Cicitnya sombong tak peduli. Hewan berparas mengerikan
serupa gergaji terkutuk itu mendekor lemariku dan baju-bajuku dengan lobang
berenda yang sama sekali menyebalkan, hanyut di pojokan di latari deburan
trofosfer. Aku sampai membenci si pengerat itu hingga urat nadiku.
Rasa
phobia kami terhadap musuh mini ini di ejek mentah-mentah oleh seorang pendekar
wanita berambut cepak. Aku menganggapnya
sri kandi masa kini. Tidak tahu mengapa, tapi sepanjang ingatanku perempuan
berperawakan kecil ini selalu memiliki model rambut yang hampir selalu sama. Menjadi
pribadi yang disiplin adalah prinsip hidup wanita ini, menurutku. Proporsi
badannya sungguh kurang sebanding dengan kelincahannya yang hampir tidak pernah
diam. Aku menarik kesimpulan, ternyata tabiat orang tidak berhubungan dengan
nama, gelar yang disematkan padanya, bukan pula bagaimana ia menginginkan orang
hormat kepadanya, apalagi bentuk dan ukuran tubuhnya.
Warisan yang sebenarnya sungguh
tidak kami senangi selama berhabitat di residence ini adalah satu dan
satu-satunya, tak lain tak bukan adalah mogoknya aliran got sehingga membuat
toilet rumah kami bermasalah.
Bersambung ke episode #3…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar