Jumat, 16 Agustus 2013

STORY IN PILITAN RESIDENCE


# Episode 2

Deskripsi wanita titisan Dewi Padi yang sempat terhenti pada episode 1 harus segera kuselesaikan, permintaan dari beberapa hati yang syahdu. Seperti layaknya tumpukan batang kawat yang berpadu menjadi kerangka payung yang menjadi tumpuan bagi beberapa inci kain, mampu menjadikan keteduhan dari geramnya sang matahari mencoba membakar kulitmu, demikianlah jalinan di antara kami akibat adanya tiang kawat yang menjadi poros kami-sang kawat dapat bersatu. Tentu saja tiang kawat yang kubicarakan adalah sang Dewi Padi. 

Perjalanan musa pastilah tidak akan berhasil jika kakaknya harun tidak senantiasa mendampingi. Rumah yang posisinya di tengah itu, merupakan oase bagi kami yang udik. Di sana, bukan sekedar mendapatkan petuah, nasehat, tapi juga tempat bermain dan membuat janji-janji. Jendelanya yang nan indah, teralinya yang berupa-rupa, serta gordennya yang memesona, menjadi lokasi favorit kami hampir setiap setengah lima setiap harinya. Tak lain karena di sana sudah berdiri sang bocah yang sebenarnya memiliki daya tarik setingkat gegana. Kemampuannya untuk menarik kami memperhatikan dia seakan magnet dua kutub, dimana medan magnet yang terjadi telah menimbulkan gaya gerak listrik berkekuatan 1000 volt.  Justru anak inilah sebenarnya yang menjadi bintang dari seluruh rangkaian kehidupan yang bercorak di residence ini. Tingkah polahnya yang terlalu menghibur, malah jenius menurutku sering menjadi kegemaran yang kami rindukan. Ia mampu menyatukan minat dan kebiasaan kami, tentu saja dengan seluruh jiwa yang pernah menjalani masa hidup di area itu. Benar-benar luar biasa.

Tentu saja Kumpulan rumah penuh senyum ini bukanlah hanya Dewi Padi dan si bocah gegana, melainkan juga seorang ayah penuh kasih yang mampu memberikan gambaran seorang pria komplikasi. Kamu bisa melihat sosok kakak lelaki, ayah, dan juga teman yang baik. Sang ayah mampu menjalankan perannya dengan kompilasi.   Dan kamipun sang manusia udik mendapat anugerah dari keluarga penghuni rumah penuh senyum ini. 

Suara gelak yang rusuh menggema ke ruangan sebelah yang sebagian dindingnya terbuat dari bahan triplek, tak pelak membuat para jamaah putri yang selalu memancarkan semerbak harum setanggi melongokkan kepala mencari tahu penyebab keributan yang terjadi. Sekedar menilik, beberapa diantara mereka justru turut menjadi pelaku keributan selanjutnya yang malah setingkat diatas yang pertama. Sepotong senyum di sertai lirikan penuh bahasa dari wanita sopan-dewasa,  akan kami jumpai jika kebisingan yang tercipta akan naik tingkat . Ketenangan dan kelembutan sifatnya yang dalam, mungkin merupakan warisan nenek moyang yang tidak di buat-buat. Aku biasa menyebutnya “sang dosen” yang di dukung oleh profesinya yang memang seorang dosen saat itu. Seumpama ulah kami tidak berhenti sampai di situ, barulah beberapa hati yang terusik akan segera menghampiri, menegur, atau bahkan jika kami sedang sial, akan langsung mandamprat dengan beberapa frasa yang asin. Sampai saat ini, aku sering terkenang-kenang dalam peraduan seberapa dalam perseteruan yang terjadi antara kami dengan tetangga si frasa asing ini. Mulai dari kain lap yang pantang tersangkut di pagarnya, daun kering dari pohon mangganya yang selalu nongkrong di halaman  rumah kami tapi tidak kebagian buahnya, sampai keisengan kami mengganggu kelangsungan hidup sang buah. Hmm, sungguh menggelikan. Efek yang timbul adalah nuansa yang janggal untuk saling melempar senyum.

                Puluhan tikus kecil pernah menjadi thema pembicaraan yang populer di antara sesame kami. Aku hampir tidak dapat menghitung seberapa sering kami akan berdiskusi dengan hangat, hanya dengan membahas ulah hewan kecil yang kala itu sangat terkenal dengan nama “cirurut”. Makhluk kecil ini memang cukup fantastik, mampu membuat kami berteriak-teriak, melompat-lompat, bahkan tak jarang kami berkejar-kejaran tak tentu arah. Bentuknya mungil, moncongnya runcing, dan yang paling menjijikkan bagiku, perutnya yang cukup buncit karena buas menjarah apa saja yang ada dalam rumah. Cicitnya sombong tak peduli. Hewan berparas mengerikan serupa gergaji terkutuk itu mendekor lemariku dan baju-bajuku dengan lobang berenda yang sama sekali menyebalkan, hanyut di pojokan di latari deburan trofosfer. Aku sampai membenci si pengerat itu hingga urat nadiku.

                Rasa phobia kami terhadap musuh mini ini di ejek mentah-mentah oleh seorang pendekar wanita berambut cepak.  Aku menganggapnya sri kandi masa kini. Tidak tahu mengapa, tapi sepanjang ingatanku perempuan berperawakan kecil ini selalu memiliki model rambut yang hampir selalu sama. Menjadi pribadi yang disiplin adalah prinsip hidup wanita ini, menurutku. Proporsi badannya sungguh kurang sebanding dengan kelincahannya yang hampir tidak pernah diam. Aku menarik kesimpulan, ternyata tabiat orang tidak berhubungan dengan nama, gelar yang disematkan padanya, bukan pula bagaimana ia menginginkan orang hormat kepadanya, apalagi bentuk dan ukuran tubuhnya.

Warisan yang sebenarnya sungguh tidak kami senangi selama berhabitat di residence ini adalah satu dan satu-satunya, tak lain tak bukan adalah mogoknya aliran got sehingga membuat toilet rumah kami bermasalah.

Bersambung ke episode #3…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar