Cita-cita kamu apa? Tentu pertanyaan
simple itu sudah menjadi pengalaman bagi setiap orang, bahkan dari semenjak
kecil. Dan uniknya lagi, bagi beberapa orang tentu ada ketidak-konsistenan
dalam menjawab. Hal itu wajar saja, begitu juga dengan aku. Masih teringat awal
kecintaanku pada Matematika dan Sains. Jika ditanya, yah aku jawab aku pengen
jadi guru, tepatnya guru Matematika atau Sains. Setelah itu berubah lagi, aku ingin
jadi dokter. Bahkan saat aku sekecil itu aku bisa menyimpulkan mulianya seorang
dokter yang mampu menyelamatkan nyawa orang lain.
Perlahan-lahan, aku merasa aku
kurang cocok menjadi dokter. Aku cukup histeris untuk membayangkan darah, pisau
bedah, dan peralatan medis lainnya. Aku bahkan benci dengan aroma Rumah Sakit
(pertama kali aku menginjakkan kaki di RS adalah ketika kelas 5 SD saat
menjenguk teman yang sakit).
Di akhir tahun sekolah dasar,
kecintaanku terhadap pelajaran Sains tepatnya Fisika semakin bertambah-tambah.
Saat itu masih teringat jelas pelajaran tentang benda-benda langit, planet-planet,
bulan, bintang, matahari, meteor, meteoroid, komet, galaksi, astronot, dan
sebagainya. Aku hanya bisa membayangkan betapa senangnya bisa ke luar angkasa.
Dan saat itu juga aku memantapkan hati, aku pengen jadi astronot.
Memasuki sekolah menengah pertama,
pelajaran Fisika dan Matematika masih jadi favoritku. Cita-citaku makin
bertambah, aku ingin jadi Astronot, Akuntan, dan Pengarang Terkenal (yang
berawal pada kekagumanku terhadap Chairil Anwar, bahkan sampai sekarang masih
menjadi penggemar berat pujangga angkatan ‘45 itu ).
Namun keadaan perlahan-lahan berubah
sejak memasuki masa SMA. Secara fisik dan psikologis, tentu masa SMA berbeda
dengan masa saat SD dan SMP. Semenjak menginjakkan kaki di bangku SMA, aku
mulai sulit untuk mengatakan “aku pengen jadi…” Perlahan-lahan, pelajaran
Sastra menjadi sosok yang membosankan bagiku.
Sejak memasuki tahun kedua sekolah
menengah akhir, aku mulai memikirkan
tentang jurusan yang akan aku ambil saat SNMPTN yang akan datang. Aku memilih Farmasi,
aku jadi Apoteker saja pikirku. Aku
mulai membahas soal-soal USNMPTN dan soal-soal Psikotes. Impian jadi seorang
astronot sudah kukubur dalam-dalam, aku hanya menganggap bahwa itu hanya
euphoria seorang siswi kelas 5 SD yang ingin ke luar angkasa. Simpelnya, itu
impian yang kurang realistis saat itu. Begitu juga dengan desainer, sudahlah
ini bukan jalanku, pikirku.
Entah mengapa dan entah darimana aku
bisa memutuskan untuk mengambil jurusan Pendidikan Kimia saat ujian SNMPTN. Sampai saat aku sudah memasuki
semester VII, hal ini masih menjadi sebuah pertanyaan bagiku. Mengingat
perjalanan panjangku dalam mencintai beberapa jurusan, mulai dari Kedokteran,
Matematika, Sains, Desainer, Akuntansi, bahkan Teknik Informatika, dan hasilnya
justru melenceng ke Pendidikan Kimia. Saat memilih dulu, aku bahkan belum bisa
menentukan apakah hatiku mencintai atau tidak mencintai jurusan ini. Tapi yang
jelas, hatiku memilih jurusan ini. Kalau boleh jujur, di semester-semester
awal, aku sempat merasa ngambang tentang jurusan ini. Akan tetapi, aku belajar
bahwa inilah yang disebut proses pembelajaran yang memang butuh waktu. Ada
banyak hal positif yang kuperoleh selama dan sampai sekarang aku menjadi seorang
guru kimia. Dan luar biasanya lagi semua itu adalah kebaikan. Bagaimana tidak, aku
berkutat dengan profesiku yang menuntut pemahaman terhadap polah-tingkah manusia
sebagai individu.
Menurut aku sendiri, sesungguhnya,
mempelajari manusia itu jauh lebih sulit dan kompleks dibandingkan mempelajari
mesin atau benda mati. Profesiku yang mengharuskan aku untuk lebih mengenal
pribadi setiap kepala, dan kemudian mengisinya dengan beragam fenomena kimia,
membuat aku semakin mencintai langkah hidup yang sudah ku ambil ini. Intinya,
belajar memahami psikologi siswa itu jauh lebih susah ketimbang belajar tentang
mesin. Kita berhadapan dengan individu “hidup” yang tentu tidak bisa di berikan
treatment sesuka hati kita. Ada beban moral maupun psikologis yang
ditanggung ketika kita berhadapan dengan manusia tentunya.
Aplikasi kesetianku selama belasan
tahun mengemasi buku-bukuku sebagai mana sang manusia hebat menyebutnya : “menimba
ilmu”, telah membuka cakrawala
berpikirku untuk mampu berpikir lebih jauh. Aku masih ingat bagaimana dulu aku
setiap kali berhadapan dengan orang yang bisa saja berbeda dengan aku. Sekarang
aku menyadari bahwa itu adalah sebagian implementasi dari pernyataan each
person is unique.
Banyak orang menyadari bahwa setiap pribadi
adalah unik, tetapi berapa orangkah yang mampu mengontrol sikapnya untuk
menghadapi keunikan ataupun perbedaan itu? Tentu tidak seharusnya sikap kita
sama untuk setiap orang, itulah mengapa kita punya akal, pikiran, dan
penalaran. Konon, hewan atau tumbuhan saja mampu beradaptasi terhadap perubahan
situasi dan lingkungan. Apalagi kita manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling
istimewa. Bukan hanya menyesuaikan diri terhadap keunikan dan perbedaan orang
lain, akan tetapi juga terhadap perubahan situasi dan lingkungan kita. Kita
tentu tahu kapan harus menyalakan AC atau harus mematikan AC. Itu hanyalah
sebuah ilustrasi yang sederhana. Maka dari hal sederhanalah kita bisa bergerak
menjadi luar biasa.
“Mungkin, kita tidak bisa melarang
burung hinggap di kepala kita. Akan tetapi, kita bisa melarang burung tersebut
bersarang di kepala kita.” Kita tidak mempunyai kuasa untuk menentukan
persoalan mana yang menghampiri kehidupan kita, akan tetapi kita mempunyai
kesempatan untuk mengubah dan mengontrol sikap kita dalam menghadapi setiap
persoalan yang datang ke dalam kehidupan kita.
“Do what we love and love what we do”
_with pray...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar