Kamis, 22 Agustus 2013

Cita - Cita




Cita-cita kamu apa? Tentu pertanyaan simple itu sudah menjadi pengalaman bagi setiap orang, bahkan dari semenjak kecil. Dan uniknya lagi, bagi beberapa orang tentu ada ketidak-konsistenan dalam menjawab. Hal itu wajar saja, begitu juga dengan aku. Masih teringat awal kecintaanku pada Matematika dan Sains. Jika ditanya, yah aku jawab aku pengen jadi guru, tepatnya guru Matematika atau Sains. Setelah itu berubah lagi, aku ingin jadi dokter. Bahkan saat aku sekecil itu aku bisa menyimpulkan mulianya seorang dokter yang mampu menyelamatkan nyawa orang lain. 
Perlahan-lahan, aku merasa aku kurang cocok menjadi dokter. Aku cukup histeris untuk membayangkan darah, pisau bedah, dan peralatan medis lainnya. Aku bahkan benci dengan aroma Rumah Sakit (pertama kali aku menginjakkan kaki di RS adalah ketika kelas 5 SD saat menjenguk teman yang sakit).
Di akhir tahun sekolah dasar, kecintaanku terhadap pelajaran Sains tepatnya Fisika semakin bertambah-tambah. Saat itu masih teringat jelas pelajaran tentang benda-benda langit, planet-planet, bulan, bintang, matahari, meteor, meteoroid, komet, galaksi, astronot, dan sebagainya. Aku hanya bisa membayangkan betapa senangnya bisa ke luar angkasa. Dan saat itu juga aku memantapkan hati, aku pengen jadi astronot.
Memasuki sekolah menengah pertama, pelajaran Fisika dan Matematika masih jadi favoritku. Cita-citaku makin bertambah, aku ingin jadi Astronot, Akuntan, dan Pengarang Terkenal (yang berawal pada kekagumanku terhadap Chairil Anwar, bahkan sampai sekarang masih menjadi penggemar berat pujangga angkatan ‘45 itu ).
Namun keadaan perlahan-lahan berubah sejak memasuki masa SMA. Secara fisik dan psikologis, tentu masa SMA berbeda dengan masa saat SD dan SMP. Semenjak menginjakkan kaki di bangku SMA, aku mulai sulit untuk mengatakan “aku pengen jadi…” Perlahan-lahan, pelajaran Sastra menjadi sosok yang membosankan bagiku.
Sejak memasuki tahun kedua sekolah menengah akhir,  aku mulai memikirkan tentang jurusan yang akan aku ambil saat SNMPTN yang akan datang. Aku memilih Farmasi, aku jadi Apoteker  saja pikirku. Aku mulai membahas soal-soal USNMPTN dan soal-soal Psikotes. Impian jadi seorang astronot sudah kukubur dalam-dalam, aku hanya menganggap bahwa itu hanya euphoria seorang siswi kelas 5 SD yang ingin ke luar angkasa. Simpelnya, itu impian yang kurang realistis saat itu. Begitu juga dengan desainer, sudahlah ini bukan jalanku, pikirku.
Entah mengapa dan entah darimana aku bisa memutuskan untuk mengambil jurusan Pendidikan Kimia  saat ujian SNMPTN. Sampai saat aku sudah memasuki semester VII, hal ini masih menjadi sebuah pertanyaan bagiku. Mengingat perjalanan panjangku dalam mencintai beberapa jurusan, mulai dari Kedokteran, Matematika, Sains, Desainer, Akuntansi, bahkan Teknik Informatika, dan hasilnya justru melenceng ke Pendidikan Kimia. Saat memilih dulu, aku bahkan belum bisa menentukan apakah hatiku mencintai atau tidak mencintai jurusan ini. Tapi yang jelas, hatiku memilih jurusan ini. Kalau boleh jujur, di semester-semester awal, aku sempat merasa ngambang tentang jurusan ini. Akan tetapi, aku belajar bahwa inilah yang disebut proses pembelajaran yang memang butuh waktu. Ada banyak hal positif yang kuperoleh selama dan sampai sekarang aku menjadi seorang guru kimia. Dan luar biasanya lagi semua itu adalah kebaikan. Bagaimana tidak, aku berkutat dengan profesiku yang menuntut pemahaman terhadap polah-tingkah manusia sebagai individu.
Menurut aku sendiri, sesungguhnya, mempelajari manusia itu jauh lebih sulit dan kompleks dibandingkan mempelajari mesin atau benda mati. Profesiku yang mengharuskan aku untuk lebih mengenal pribadi setiap kepala, dan kemudian mengisinya dengan beragam fenomena kimia, membuat aku semakin mencintai langkah hidup yang sudah ku ambil ini. Intinya, belajar memahami psikologi siswa itu jauh lebih susah ketimbang belajar tentang mesin. Kita berhadapan dengan individu “hidup” yang tentu tidak bisa di berikan treatment sesuka hati kita. Ada beban moral maupun psikologis yang ditanggung ketika kita berhadapan dengan manusia tentunya.
Aplikasi kesetianku selama belasan tahun mengemasi buku-bukuku sebagai mana sang manusia hebat menyebutnya : “menimba ilmu”,  telah membuka cakrawala berpikirku untuk mampu berpikir lebih jauh. Aku masih ingat bagaimana dulu aku setiap kali berhadapan dengan orang yang bisa saja berbeda dengan aku. Sekarang aku menyadari bahwa itu adalah sebagian implementasi dari pernyataan each person is unique.
Banyak orang menyadari bahwa setiap pribadi adalah unik, tetapi berapa orangkah yang mampu mengontrol sikapnya untuk menghadapi keunikan ataupun perbedaan itu? Tentu tidak seharusnya sikap kita sama untuk setiap orang, itulah mengapa kita punya akal, pikiran, dan penalaran. Konon, hewan atau tumbuhan saja mampu beradaptasi terhadap perubahan situasi dan lingkungan. Apalagi kita manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling istimewa. Bukan hanya menyesuaikan diri terhadap keunikan dan perbedaan orang lain, akan tetapi juga terhadap perubahan situasi dan lingkungan kita. Kita tentu tahu kapan harus menyalakan AC atau harus mematikan AC. Itu hanyalah sebuah ilustrasi yang sederhana. Maka dari hal sederhanalah kita bisa bergerak menjadi luar biasa.
“Mungkin, kita tidak bisa melarang burung hinggap di kepala kita. Akan tetapi, kita bisa melarang burung tersebut bersarang di kepala kita.” Kita tidak mempunyai kuasa untuk menentukan persoalan mana yang menghampiri kehidupan kita, akan tetapi kita mempunyai kesempatan untuk mengubah dan mengontrol sikap kita dalam menghadapi setiap persoalan yang datang ke dalam kehidupan kita.

“Do what we love and love what we do”
                                                                               _with pray...
 
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar