AKUADES,
DAN ONDE-ONDE
Kedua kata di atas mungkin bukanlah sesuatu yang
langka bagi kita, khususnya yang pernah menginjak bangku sekolah IPA pasti
kenal yang namanya akuades, dan yang
namanya orang Indonesia pada umumnya kenal dengan onde-onde.
Kita selidiki terlebih dahulu kata pertama, akuades. Akuades merupakan cairan murni
yang sering di gunakan dalam istilah ilmiah, dan sering dikaitkan dengan yang
namanya Larutan, dan secara awam
orang mengenalnya dengan kata yang sangat sederhana, yaitu air. Cairan ini memiliki komposisi molekul H2O yang di
dalamnya memiliki gaya antar molekul yang di sebut dengan Ikatan Hidrogen. Apa yang perlu kita lihat dari si akuades atau air ini? Kita pasti tau sifat fisik air
yang akan mengikuti bentuk dan warna wadahnya, artinya si air akan dengan setia
mengikuti segala aturan dan keinginan si wadah tempat dia bercokol. Dia juga
akan mengalir kemana arah membawa dia, demikian juga dia akan dengan setia
menyertai perjalanan yang seolah-oleh
sudah ditakdirkan untuknya.
Kemudian kita akan melihat bagaimana pula ceritanya si
onde-onde ini. Benar Kawan!
Yang kita bicarakan ini adalah onde-onde biasa, makanan khas Indonesia yang
terbuat dari tepung dengan kelapa dan gula jawa di tengahnya. Onde-onde
biasanya di buat dalam bentuk bulatan, dengan struktur yang “jemek” yang dengan gampangnya bisa di
remas-remas hingga penyok sesuai
dengan keinginan kita.
Kawan, disini aku
bukan ingin menceritakan tentang kegunaan air ataupun kerugian yang bisa di
timbulkannya, bukan juga ingin promosi onde-onde.
Tapi saat ini aku ingin bercerita Kawan,
bahwa nasib yang sedang kualami bersama-beberapa jiwa lainnya tidak jauh beda
dengan sifat si air dan kondisi onde-onde. Dengarkan dulu ceritaku Kawan..
Sekitar 3 bulan yang lalu kami dikirim oleh sebuah
lembaga Pendidikan Tinggi atas nama Dikti ke kota yang sekarang kami huni ini
dengan tujuan pendidikan Profesional. Aku bersama rekan-rekan yang dikirim
berjumlah delapan orang jurusan yang sama. Mengenai kekompakan, cukuplah
rasanya kami memilikinya. Itu tidak pernah kuragukan.
Selama sekitar satu minggu kami menjalani hari-hari
kami di kota baru ini, semua masih berjalan menyenangkan. Tawa dan canda yang
menjadi ciri khas yang menempel pada kami masih sangat nyata. Tawa-canda yang
kumaksud disini memang benar-benar nyata, Kawan.
Makanan dan minuman yang kami konsumsi sudah lebih dari cukup dari segi gizi
dan nutrisinya, ditambah kegiatan yang kami lalui bisa di bilang santai. Semua
kami lalui dengan kesenangan Kawan,
yang ternyata baru kami ketahui belakangan ini, semua itu hanya sekejap.
Sungguh ironis memang Kawan!
Ibarat sapi yang akan di perah terlebih dahulu
diberikan rumput segar hingga si sapi kekenyangan, kemudian dituntut untuk
diperah.
Berselang satu minggu menjalani hari-hari santai, kami
diperhadapkan dengan tuntutan yang saat ini akan ku katakan Kawan, tidak logika. Itu benar Kawan,
setidaknya itulah yang kami rasakan. Ibarat air tadi, kami harus selalu nurut kepada setiap tindakan apapun yang
sepertinya kami memang harus menerimanya. Bagaimana tidak Kawan? Ketika kami berusaha untuk protes atau mengadu, kami hanya
akan pelang dengan tangan kosong terkulum.
Mengapa harus terkulum Kawan? Karena
kami hanya akan diberi penjelasan yang bermakna kosong pada harapan yang kami
impikan, atau bisa lebih parah lagi kawan, kami akan disodori formulir ajaib,
pengunduran diri.
Itulah yang kumaksud Kawan, kami harus mengikuti apapun
dan kemanapun kami digiring, seperti
sifat air yang kusebutkan terdahulu. Setiap pagi kami diisi oleh menu sarapan
yang mungkin tidak akan pernah kami rindukan. Longbas (lontong-basi),
mie-bas (mie-basi), mie patah-patah, atau
bubur kacang hijau kuah air yang aku sendiri tidak bisa mendefenisikan rasanya,
karena setau aku kawan, air rasanya hambar, atau lebih jelasnya tidak punya rasa. Itu belum seberapa
kawan, kami masih harus berlaku sebagai onde-onde ketika cerita tentang menu
sarapan selesai, kami akan diperhadapkan dengan yang lebih parah lagi
menurutku. Kami di tuntut untuk mengikuti keinginan setiap dosen yang setiap
mata kuliah terdiri dari tiga orang dosen, dan masing – masing mereka memiliki
keinginan yang berbeda-beda bahkan tidak jarang bertolak-belakang. Dan
ketahuilah kawan, kamilah yang jadi korbannya. Disinilah peran sionde-onde
menggambarkan nasib kami. Kami harus dipilin-dimemarkan-dipipihkan-dilonjongkan
dan kembali lagi dipilin dan diperlakukan sesuka apa mau mereka. Bayangkan
kawan, kami harus mengikuti isi kepala yang sudah Doktor-doktor bahkan
professor itu dengan terbanting-banting. Tercampak-campak.
Berontak? Tidak mungkin kawan, sama saja artinya kami
menaruh leher di pembantaian. Ingatkan kawan? Kalau sedikit berisik akan di
sodorin formulir ajaib itu. Dan pada saat itu, kita akan teringat semua jerih
payah kita untuk bisa berada di sini, dan terlebih lagi, senyum orang-tua yang
rasanya tidak tega mengecewakannya.
Air yang selalu mengikuti bentuk wadah kemanapun dia
ditempatkan, kami juga harus seperti itu kawan. Siap diperlakukan seperti apa
saja yang mereka rasa “seharusnya layak kami dapatkan”. Dan tentu saja kawan,
kami juga harus siap diperlakukan seperti si onde-onde. Menyelesaiakn jam
kampus sampai sore sekitar jam 6, kami kembali ke asrama membawa beban fikiran
yang jauh lebih berat dari tas yang kami pikul dan menaiki tangga untuk
mencapai kamar yang ada di lantai 4. Tidak sampai disitu kawan! Di asrama kami
akan di suguhi menu makan malam yang tidak jauh beda dengan menu sarapan. Tidak
perlu kuceritakan kawan, karena yang jelas tenaga yang kami peroleh dari
makanannya tidak seimbang dengan usaha kami naik-turun tangga 4 lantai untuk
mendapatkan makanan itu. Kawan, itulah nutrisi yang akan kami gunakan untuk
lembur mengerjakan tugas-tugas ajaib hingga larut pagi. Benar kawan, sering kami
harus melewati malam dengan mata terjaga dan tangan masih bekerja
berketak-ketik hingga tidak sadar, kami sudah melewati pergantian tanggal
kalender dengan masih terjaga. Sungguh tragis bukan kawan?
“berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”.
Mungkin itu kata yang tersirat dalam benakmu kawan?
Ironisnya, setelah menjalani semua ini hampir satu
tahun nantinya, kami belum tahu di kemanakan akhirnya. Kami hanya di sodorin janji gombal yang tak seorangpun tahu
kepastiannya. Mungkinkah kami hanya seperti air yang mengalir dan tidak tahu
akan kemana muaranya?? Ataukah kami hanya seperti air di keran, yang jatuhnya
ke dalam clossed? Tidak seorangpun di
antara kami yang tahu kawan…
Yang pasti sampai saat ini kami hanyalah akuades dan onde-onde.. L L
Tidak ada komentar:
Posting Komentar