Jumat, 16 Agustus 2013

AKUADES, DAN ONDE-ONDE



AKUADES, DAN ONDE-ONDE

Kedua kata di atas mungkin bukanlah sesuatu yang langka bagi kita, khususnya yang pernah menginjak bangku sekolah IPA pasti kenal yang namanya akuades, dan yang namanya orang Indonesia pada umumnya kenal dengan onde-onde.
Kita selidiki terlebih dahulu kata pertama, akuades. Akuades merupakan cairan murni yang sering di gunakan dalam istilah ilmiah, dan sering dikaitkan dengan yang namanya Larutan, dan secara awam orang mengenalnya dengan kata yang sangat sederhana, yaitu air. Cairan ini memiliki komposisi molekul H2O yang di dalamnya memiliki gaya antar molekul yang di sebut dengan Ikatan Hidrogen. Apa yang perlu kita lihat dari si  akuades  atau air ini? Kita pasti tau sifat fisik air yang akan mengikuti bentuk dan warna wadahnya, artinya si air akan dengan setia mengikuti segala aturan dan keinginan si wadah tempat dia bercokol. Dia juga akan mengalir kemana arah membawa dia, demikian juga dia akan dengan setia menyertai  perjalanan yang seolah-oleh sudah ditakdirkan untuknya.
Kemudian kita akan melihat bagaimana pula ceritanya si onde-onde  ini. Benar Kawan! Yang kita bicarakan ini adalah onde-onde biasa, makanan khas Indonesia yang terbuat dari tepung dengan kelapa dan gula jawa di tengahnya. Onde-onde biasanya di buat dalam bentuk bulatan, dengan struktur yang “jemek” yang dengan gampangnya bisa di remas-remas hingga penyok sesuai dengan keinginan kita.
Kawan, disini aku bukan ingin menceritakan tentang kegunaan air ataupun kerugian yang bisa di timbulkannya, bukan juga ingin promosi onde-onde. Tapi saat ini aku ingin bercerita Kawan, bahwa nasib yang sedang kualami bersama-beberapa jiwa lainnya tidak jauh beda dengan sifat si air dan kondisi onde-onde. Dengarkan dulu ceritaku Kawan..
Sekitar 3 bulan yang lalu kami dikirim oleh sebuah lembaga Pendidikan Tinggi atas nama Dikti ke kota yang sekarang kami huni ini dengan tujuan pendidikan Profesional. Aku bersama rekan-rekan yang dikirim berjumlah delapan orang jurusan yang sama. Mengenai kekompakan, cukuplah rasanya kami memilikinya. Itu tidak pernah kuragukan.
Selama sekitar satu minggu kami menjalani hari-hari kami di kota baru ini, semua masih berjalan menyenangkan. Tawa dan canda yang menjadi ciri khas yang menempel pada kami masih sangat nyata. Tawa-canda yang kumaksud disini memang benar-benar nyata, Kawan. Makanan dan minuman yang kami konsumsi sudah lebih dari cukup dari segi gizi dan nutrisinya, ditambah kegiatan yang kami lalui bisa di bilang santai. Semua kami lalui dengan kesenangan Kawan, yang ternyata baru kami ketahui belakangan ini, semua itu hanya sekejap.
Sungguh ironis memang Kawan!
Ibarat sapi yang akan di perah terlebih dahulu diberikan rumput segar hingga si sapi kekenyangan, kemudian dituntut untuk diperah.
Berselang satu minggu menjalani hari-hari santai, kami diperhadapkan dengan tuntutan yang saat ini akan ku katakan Kawan, tidak logika. Itu benar Kawan, setidaknya itulah yang kami rasakan. Ibarat air tadi, kami harus selalu nurut kepada setiap tindakan apapun yang sepertinya kami memang harus menerimanya. Bagaimana tidak Kawan? Ketika kami berusaha untuk protes atau mengadu, kami hanya akan pelang dengan tangan kosong terkulum. Mengapa harus terkulum Kawan? Karena kami hanya akan diberi penjelasan yang bermakna kosong pada harapan yang kami impikan, atau bisa lebih parah lagi kawan, kami akan disodori formulir ajaib, pengunduran diri.
Itulah yang kumaksud Kawan, kami harus mengikuti apapun dan kemanapun kami digiring, seperti sifat air yang kusebutkan terdahulu. Setiap pagi kami diisi oleh menu sarapan yang mungkin tidak akan pernah kami rindukan. Longbas (lontong-basi), mie-bas (mie-basi), mie patah-patah, atau bubur kacang hijau kuah air yang aku sendiri tidak bisa mendefenisikan rasanya, karena setau aku kawan, air rasanya hambar, atau lebih jelasnya tidak punya rasa. Itu belum seberapa kawan, kami masih harus berlaku sebagai onde-onde ketika cerita tentang menu sarapan selesai, kami akan diperhadapkan dengan yang lebih parah lagi menurutku. Kami di tuntut untuk mengikuti keinginan setiap dosen yang setiap mata kuliah terdiri dari tiga orang dosen, dan masing – masing mereka memiliki keinginan yang berbeda-beda bahkan tidak jarang bertolak-belakang. Dan ketahuilah kawan, kamilah yang jadi korbannya. Disinilah peran sionde-onde menggambarkan nasib kami. Kami harus dipilin-dimemarkan-dipipihkan-dilonjongkan dan kembali lagi dipilin dan diperlakukan sesuka apa mau mereka. Bayangkan kawan, kami harus mengikuti isi kepala yang sudah Doktor-doktor bahkan professor itu dengan terbanting-banting. Tercampak-campak.
Berontak? Tidak mungkin kawan, sama saja artinya kami menaruh leher di pembantaian. Ingatkan kawan? Kalau sedikit berisik akan di sodorin formulir ajaib itu. Dan pada saat itu, kita akan teringat semua jerih payah kita untuk bisa berada di sini, dan terlebih lagi, senyum orang-tua yang rasanya tidak tega mengecewakannya.
Air yang selalu mengikuti bentuk wadah kemanapun dia ditempatkan, kami juga harus seperti itu kawan. Siap diperlakukan seperti apa saja yang mereka rasa “seharusnya layak kami dapatkan”. Dan tentu saja kawan, kami juga harus siap diperlakukan seperti si onde-onde. Menyelesaiakn jam kampus sampai sore sekitar jam 6, kami kembali ke asrama membawa beban fikiran yang jauh lebih berat dari tas yang kami pikul dan menaiki tangga untuk mencapai kamar yang ada di lantai 4. Tidak sampai disitu kawan! Di asrama kami akan di suguhi menu makan malam yang tidak jauh beda dengan menu sarapan. Tidak perlu kuceritakan kawan, karena yang jelas tenaga yang kami peroleh dari makanannya tidak seimbang dengan usaha kami naik-turun tangga 4 lantai untuk mendapatkan makanan itu. Kawan, itulah nutrisi yang akan kami gunakan untuk lembur mengerjakan tugas-tugas ajaib  hingga larut pagi. Benar kawan, sering kami harus melewati malam dengan mata terjaga dan tangan masih bekerja berketak-ketik hingga tidak sadar, kami sudah melewati pergantian tanggal kalender dengan masih terjaga. Sungguh tragis bukan kawan?
“berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”. Mungkin itu kata yang tersirat dalam benakmu kawan?
Ironisnya, setelah menjalani semua ini hampir satu tahun nantinya, kami belum tahu di kemanakan akhirnya. Kami hanya di sodorin janji gombal yang tak seorangpun tahu kepastiannya. Mungkinkah kami hanya seperti air yang mengalir dan tidak tahu akan kemana muaranya?? Ataukah kami hanya seperti air di keran, yang jatuhnya ke dalam clossed? Tidak seorangpun di antara kami yang tahu kawan…
Yang pasti sampai saat ini kami hanyalah akuades dan onde-onde.. L L

Tidak ada komentar:

Posting Komentar