#Episode
1
Aku memasuki gedung
putih berpagar hijau itu dengan perasaan seperti menghirup bau “tengik ngeyel”
sejarah kehidupan yang sudah mulai lapuk. Rasanya ingin menangis, tertawa,
marah, sedih, dan segala macam perasan merasuki hatiku secara bersamaan dan
komplikasi, mungkin aku bisa menyebutnya galau.
Masih jelas terbayang wajah mereka, orang-orang sederhana dan biasa, yang
aku percaya merupakan kumpulan manusia-manusia non modis, namun mampu meramaikan hatiku dengan hikayat bahagia
yang berkobar-kobar. Hikayat tentang segelintir wanita modern yang polos, yang bila dibandingkan dengan mereka yang selalu
up to date bersolek, kami merupakan
kumpulan perempuan jaman purba-kala yang tak lekang oleh waktu, tidak tergilas
jaman.
Hatiku
runtuh, saat aku menengadahkan kepala tepat di dinding luar rumah, tertempel
dengan setia-masih seperti dulu, nomor yang menandai alamat rumah itu, 18 C.
Tenggorokanku rasanya tersayat, ada suara diam yang berteriak-teriak dalam
mulutku, tangis yang terisak-isak, walau tampakku hanya membisu. Akh, kenangan
itu masih tertempel dengan terlalu kuat, terlalu keras. Mungkin inilah yang
disebut para pujangga sebagai “Rindu yang menusuk kalbu” yang mampu meledakkan
hati dan perasaanmu, menorehkan luka paling dalam tepat di jantung,
menyayat-nyayat, dan mampu membuatmu menangis sesenggukan seperti kesedihan
yang di tanggung janda muda di tinggal mati. Perasaan yang sangat tajam. Sakit.
Aku bisa merasakan hatiku meleleh, bergetar, mengeras, dan berubah-ubah tidak
karuan. Rindu. Pastilah kata itu yang disebut oleh mereka sang manusia romantic
yang sedang merasukiku. Menurutku, Rindu
itu di konversikan menjadi suatu energy yang tidak terurai oleh jasad-jasad
renik di lautan, karena hormon melalui gelombang supersonik dalam hitungan
milisekon, maka derajat kemiringannya menjadi tepat dengan gaya sentrifugal. Seperti
saat ini, kata ampuh ini mampu membuatku berdiri mematung cukup lama di halaman
yang dulu sering berperan sebagai “studio foto”. Masih sangat jelas dalam
ingatanku, bagaimana dulu kami berpose yang benar-benar tidak pantas di sebut
sebagai modis, absurd.
Apakah
suatu kebetulan kami yang terkumpul sebagai penghuni rumah itu adalah
orang-orang “mati gaya” ataukah memang kami yang saling menularkan
ketidakmodisan itu merupakan rumusan yang akan menghasilkan hasil akhir yang
sama menurutku. Jika hidup ini seumpama perjalanan jerapah berleher pendek
mengalami seleksi alam hingga menjadikan lahirnya jerapah masa kini pada teori
Darwin, maka pengalaman demi pengalaman merupakan duri-duri dan cabang yang
semakin tinggi yang menggempur kita di ekosistem itu. Maka pada hakikatnya
menurut sang manusia cerdas itu, seharusnyalah kami akan berubah menjadi
wajah-wajah postmo. Disinilah kami serta-merta mematahkan teori itu.
Komplikasi
yang sempurna namun pada akhirnya menghasilkan paduan yang senada. Seperti
campuran warna komplementer dari gelombang-gelombang cahaya pendek dari
berbagai warna seperti merah, jinggga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu pada
akhirnya hanya menghasilkan warna putih atau yang kita kenal dengan istilah
cahaya tampak. Analogi ini tak lain karena keberagaman yang kami miliki telah
mampu menghasilkan kesamaan sifat yang hampir mutlak. Walaupun sudah berganti
generasi dari tahun ke tahun, namun kami mampu mewariskan kesaamaan itu.
Sungguh sangat terharu.
Samar
aku teringat dengan tingkah seorang wanita mungil yang memiliki kulit agak
gelap, dan ku tahu selalu dibanggakannya, bergerak ke sana-kemari, mengerjakan
berbagai hal dan hampir bisa dipastikan bahwa dia akan melakukan itu sambil
bernyanyi. Suaranya memang merdu, hingga kami pernah menyarankan dia untuk
mengikuti kontes nyanyi yang terkenal saat itu. Tapi sepertinya dia memiliki
tujuan lain dengan suaranya. Wanita ini termasuk rumusan hukum pascal. Semakin badannya
kecil, tapi suaranya malah semakin kencang. Termasuk wanita ajaib. Kecanggihan
wanita mungil ini masih dapat di tandingi oleh seorang pecandu kopi maniak.
Satu hal yang akan sangat menyenangkan baginya ketika sebungkus kopi hitam asli
di sodorkan padanya akan langsung membuat matanya berbinar-binar. Sungguh mudah
membuat wanita berwajah bulat ini bahagia.
Berbeda
dengan kedua wanita tadi, seorang diantara penghuni rumah ini sangat aneh.
Tidak ribut, tidak bernyanyi dan juga tidak suka kopi. Aku ragu, badannya yang
cukup kurus itu merupakan hasil dari kebiasaannya makan sereal sebagai
pengganti nasi. Hmm, satu hal yang kurasa merupakan cirri khas dari perempuan
berkulit mitam manis ini adalah kecintaannya jadi sate padang. Aku sampai
pernah berdoa semoga masa depannya bisa berada di sumatera barat sana untuk
menikmati makanan itu langsung pada sarangnya. Hahahaha… sampai sekarang belum
terkabul juga doaku.
Wanita
paling modern, mungkin itulah gambaran dari perempuan berbadan seksi ini.
Diantara kami memang perempuan inilah yang paling bisa di andalkan dalam
penampilan. Cantik, dan menurutku itu memang sebanding dengan kebaikan hatinya.
Hal yang paling sangat ingin kulakukan bersama wanita ini adalah berbelanja.
Sungguh, dia merupakan teman belanja yang baik. Selain aku akan dapat barang
bagus, dia merupakan penawar ulung. Aku sampai pernah terkagum-kagum dengan
keahliannya. Perempuan ini juga memiliki semangat yang tinggi, dan itu
merupakan inspirasi yang kuat bagiku, walau mungkin dia tidak pernah tahu,
akulah yang sang celhoe yang mengambil langkah kedua.
Berbeda
dengan wanita modern, perempuan jangkung-kurus ini justru orang yang paling
kuhindari dalam urusan berbelanja. Mungkin karena aku yang tidak di anugerahi
semangat belanja tinggi, wanita ini justru memiliki energy yang melimpah ruah
untuk itu. Merupakan wanita simple. Tapi menurut dugaanku, dia akan menjadi
wanita sukses. Aku bisa melihatnya dari bagaimana dia begitu ketat dan efisien
dalam hidup. Termasuk wanita yang sangat mengagumkan.
Paling
suka merutuk kalau ada yang tidak disukainya, merupakan cirri khas perempuan
berkaca mata tebal ini. Aku paling suka mengajaknya tertawa. Aku pernah sampai
tergila-gila mendengarkan bunyi tawanya. Bagiku wanita ini memiliki tawa yang
menyembuhkan. Merdu.
Perempuan
ini memiliki sifat yang mirip denganku. Suka berbuat jahil. Kami akan sangat
menikmati ketika ada sesuatu yang dapat kami ganggu. Tidak ketinggalan,
tetangga yang memiliki pohon mangga di sebelah rumah merupakan sasaran empuk
ulah kami. Kadang-kadang melempar, sampai pernah juga memukul-mukul buah mangga
muda dengan sapu hanya karena kesal tidak dibagi sama yang punya. Hahahaha.
Merupakan kenangan yang memalukan. Aku ragu, apakah rekan jahilku ini akan
melakukan tradisi memukul mangga ini di papua sana. Mudah-mudahan tidak. Itu
doaku, walau hanya setengah-setengah. Hahahaha.
Suara
merdu nan ramah, senyum manis mempesona dan tentu saja tatapan yang selalu
ingin tahu selalu menyambut di pintu rumah yang dihiasi nomor 18 B itu. Mungkin
wanita ini merupakan titisan dewi padi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar