Jumat, 16 Agustus 2013

STORY IN PILITAN RESIDENCE



                #Episode 1          

Aku memasuki gedung putih berpagar hijau itu dengan perasaan seperti menghirup bau “tengik ngeyel” sejarah kehidupan yang sudah mulai lapuk. Rasanya ingin menangis, tertawa, marah, sedih, dan segala macam perasan merasuki hatiku secara bersamaan dan komplikasi, mungkin aku bisa menyebutnya galau. Masih jelas terbayang wajah mereka, orang-orang sederhana dan biasa, yang aku percaya merupakan kumpulan manusia-manusia non modis, namun mampu meramaikan hatiku dengan hikayat bahagia yang berkobar-kobar. Hikayat tentang segelintir wanita modern yang polos, yang bila dibandingkan dengan mereka yang selalu up to date bersolek, kami merupakan kumpulan perempuan jaman purba-kala yang tak lekang oleh waktu, tidak tergilas jaman. 

                Hatiku runtuh, saat aku menengadahkan kepala tepat di dinding luar rumah, tertempel dengan setia-masih seperti dulu, nomor yang menandai alamat rumah itu, 18 C. Tenggorokanku rasanya tersayat, ada suara diam yang berteriak-teriak dalam mulutku, tangis yang terisak-isak, walau tampakku hanya membisu. Akh, kenangan itu masih tertempel dengan terlalu kuat, terlalu keras. Mungkin inilah yang disebut para pujangga sebagai “Rindu yang menusuk kalbu” yang mampu meledakkan hati dan perasaanmu, menorehkan luka paling dalam tepat di jantung, menyayat-nyayat, dan mampu membuatmu menangis sesenggukan seperti kesedihan yang di tanggung janda muda di tinggal mati. Perasaan yang sangat tajam. Sakit. Aku bisa merasakan hatiku meleleh, bergetar, mengeras, dan berubah-ubah tidak karuan. Rindu. Pastilah kata itu yang disebut oleh mereka sang manusia romantic yang sedang merasukiku. Menurutku, Rindu itu di konversikan menjadi suatu energy yang tidak terurai oleh jasad-jasad renik di lautan, karena hormon melalui gelombang supersonik dalam hitungan milisekon, maka derajat kemiringannya menjadi tepat dengan gaya sentrifugal. Seperti saat ini, kata ampuh ini mampu membuatku berdiri mematung cukup lama di halaman yang dulu sering berperan sebagai “studio foto”. Masih sangat jelas dalam ingatanku, bagaimana dulu kami berpose yang benar-benar tidak pantas di sebut sebagai modis, absurd.

                Apakah suatu kebetulan kami yang terkumpul sebagai penghuni rumah itu adalah orang-orang “mati gaya” ataukah memang kami yang saling menularkan ketidakmodisan itu merupakan rumusan yang akan menghasilkan hasil akhir yang sama menurutku. Jika hidup ini seumpama perjalanan jerapah berleher pendek mengalami seleksi alam hingga menjadikan lahirnya jerapah masa kini pada teori Darwin, maka pengalaman demi pengalaman merupakan duri-duri dan cabang yang semakin tinggi yang menggempur kita di ekosistem itu. Maka pada hakikatnya menurut sang manusia cerdas itu, seharusnyalah kami akan berubah menjadi wajah-wajah postmo. Disinilah kami serta-merta mematahkan teori itu.

                Komplikasi yang sempurna namun pada akhirnya menghasilkan paduan yang senada. Seperti campuran warna komplementer dari gelombang-gelombang cahaya pendek dari berbagai warna seperti merah, jinggga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu pada akhirnya hanya menghasilkan warna putih atau yang kita kenal dengan istilah cahaya tampak. Analogi ini tak lain karena keberagaman yang kami miliki telah mampu menghasilkan kesamaan sifat yang hampir mutlak. Walaupun sudah berganti generasi dari tahun ke tahun, namun kami mampu mewariskan kesaamaan itu. Sungguh sangat terharu.

                Samar aku teringat dengan tingkah seorang wanita mungil yang memiliki kulit agak gelap, dan ku tahu selalu dibanggakannya, bergerak ke sana-kemari, mengerjakan berbagai hal dan hampir bisa dipastikan bahwa dia akan melakukan itu sambil bernyanyi. Suaranya memang merdu, hingga kami pernah menyarankan dia untuk mengikuti kontes nyanyi yang terkenal saat itu. Tapi sepertinya dia memiliki tujuan lain dengan suaranya. Wanita ini termasuk rumusan hukum pascal. Semakin badannya kecil, tapi suaranya malah semakin kencang. Termasuk wanita ajaib. Kecanggihan wanita mungil ini masih dapat di tandingi oleh seorang pecandu kopi maniak. Satu hal yang akan sangat menyenangkan baginya ketika sebungkus kopi hitam asli di sodorkan padanya akan langsung membuat matanya berbinar-binar. Sungguh mudah membuat wanita berwajah bulat ini bahagia.

                Berbeda dengan kedua wanita tadi, seorang diantara penghuni rumah ini sangat aneh. Tidak ribut, tidak bernyanyi dan juga tidak suka kopi. Aku ragu, badannya yang cukup kurus itu merupakan hasil dari kebiasaannya makan sereal sebagai pengganti nasi. Hmm, satu hal yang kurasa merupakan cirri khas dari perempuan berkulit mitam manis ini adalah kecintaannya jadi sate padang. Aku sampai pernah berdoa semoga masa depannya bisa berada di sumatera barat sana untuk menikmati makanan itu langsung pada sarangnya. Hahahaha… sampai sekarang belum terkabul juga doaku.

                Wanita paling modern, mungkin itulah gambaran dari perempuan berbadan seksi ini. Diantara kami memang perempuan inilah yang paling bisa di andalkan dalam penampilan. Cantik, dan menurutku itu memang sebanding dengan kebaikan hatinya. Hal yang paling sangat ingin kulakukan bersama wanita ini adalah berbelanja. Sungguh, dia merupakan teman belanja yang baik. Selain aku akan dapat barang bagus, dia merupakan penawar ulung. Aku sampai pernah terkagum-kagum dengan keahliannya. Perempuan ini juga memiliki semangat yang tinggi, dan itu merupakan inspirasi yang kuat bagiku, walau mungkin dia tidak pernah tahu, akulah yang sang celhoe yang mengambil langkah kedua. 

                Berbeda dengan wanita modern, perempuan jangkung-kurus ini justru orang yang paling kuhindari dalam urusan berbelanja. Mungkin karena aku yang tidak di anugerahi semangat belanja tinggi, wanita ini justru memiliki energy yang melimpah ruah untuk itu. Merupakan wanita simple. Tapi menurut dugaanku, dia akan menjadi wanita sukses. Aku bisa melihatnya dari bagaimana dia begitu ketat dan efisien dalam hidup. Termasuk wanita yang sangat mengagumkan. 

                Paling suka merutuk kalau ada yang tidak disukainya, merupakan cirri khas perempuan berkaca mata tebal ini. Aku paling suka mengajaknya tertawa. Aku pernah sampai tergila-gila mendengarkan bunyi tawanya. Bagiku wanita ini memiliki tawa yang menyembuhkan. Merdu.

                Perempuan ini memiliki sifat yang mirip denganku. Suka berbuat jahil. Kami akan sangat menikmati ketika ada sesuatu yang dapat kami ganggu. Tidak ketinggalan, tetangga yang memiliki pohon mangga di sebelah rumah merupakan sasaran empuk ulah kami. Kadang-kadang melempar, sampai pernah juga memukul-mukul buah mangga muda dengan sapu hanya karena kesal tidak dibagi sama yang punya. Hahahaha. Merupakan kenangan yang memalukan. Aku ragu, apakah rekan jahilku ini akan melakukan tradisi memukul mangga ini di papua sana. Mudah-mudahan tidak. Itu doaku, walau hanya setengah-setengah. Hahahaha.

                Suara merdu nan ramah, senyum manis mempesona dan tentu saja tatapan yang selalu ingin tahu selalu menyambut di pintu rumah yang dihiasi nomor 18 B itu. Mungkin wanita ini merupakan titisan dewi padi. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar