Sebuah Awal
Siapa yang mengira bahwa
bintang-bintang yang tersebar di angkasa tersusun dalam struktur yang rapi,
siapa yang menyangka bahwa pergerakan benda-benda langit tidaklah
berantakan tanpa aturan, siapa menyangka bahwa awan tak akan muncul begitu saja
di depan muka bumi, dan tentu saja bukanlah kebetulan bahwa bumi berbentuk
bulat. Aku bukan hendak menceritakan tentang hebatnya sang pencipta yang
bernama Tuhan, karena itu tidak akan pernah berakhir pembahasannya. Aku cuma
hendak mengerti tentang garis merah antara hidup satu manusia dengan
manusia-manusia lain, hidupku yang terlalu sederhana bagikupun ternyata
terhubung dan berseliweran dengan hidup banyak orang, bertautan
kemudian terpisah tanpa ampun, menjadikan hidup ini adalah monster tanpa perasaan
yang memaksa manusia untuk menjalani proses pertemuan dan kehilangan, tanpa
ampun menghajar perasaan, memaksa otak untuk membuat pembenaran. “Ada jutaan
bintang di atas sana, kau bisa memilih yang mana saja karena ia
cantik, besar atau bersinar paling terang, namun yang kau tak pernah bisa
adalah memilih bintang mana yang akan datang padamu.”
Apakah
suatu kebetulan jika akhirnya aku menjadi seorang pendidik, bertemu dengan
komplikasi manusia dengan segala macam perilaku, padahal aku seorang demonstran
di awalnya, apakah kebetulan juga seorang militan pro-rakyat di masa kuliah,
berubah menjadi pengeram sejati di masa produktifnya? Apakah
kebetulan juga ketika masa dewasaku diisi dengan pertemuan-pertemuan di masa mahasiswaku?
Telah kujalani rentangan masa yang panjang untuk melihat kebanyakan forma-forma
tubuh yang lemah ini, telah kupancangkan juga cita-cita setinggi langit sesuai
kata mutiara sang manusia hebat namun kenapa justru hidupku berujung pada
sebuah harapan sederhana, terlalu sederhana bagi orang-orang yang berpikir
besar. Rumusan Lahir-Muda-Sekolah-Nikah-Tua-Mati malah makin nyata menjadi
cetak biru hidupku, lempang-lempang saja pada akhirnya meski seberapa besarnya
aku pernah memberontak terhadap rumus itu, berjuang mati-matian untuk membuktikan
rumusan itu salah, bahwa itu bukan jalan bahagia. Tapi di ujung malam, di
sinilah aku, tepat menjalani seperti rumus itu. Sampai akhirnya lamunan kala
fajar itu dipecahkan oleh sebuah suara.
“Kamu
ngga tidur sayang, masih suka bicara pada langit dan tinggalkan aku sendiri di luar
sana?” itu bunyi pesan pada telepon genggamku yang telah mengembalikan aku dari
lamunan panjang. Pacarku yang setia, akhh… aku lebih senang menyebutnya
kekasih. Orang yang dengan senang hati membagi hatinya untukku, walau kadang
aku bingung mengapa ia melakukannya. Aku terpukau mendapati diri sebagai
kekasihnya. Dewi fortuna pasti sedang kelilipan sewaktu membagikan jatah mujur hidup bagian ini. Aku
menganggapnya sebagai konstelasi bintang penunjuk arah yang mulai kupahami, kini
semua enigma tentang hidup terang bagiku.
“Terimakasih
untuk waktu-waktu yang indah, rasa sakit yang saling kita derakan namun tak
pernah kau meninggalkanku untuk menanggungnya sendiri.” Segera ku kirimkan
pesan balasan pada dia.
Coelho
tak asal cuap ketika menciptakan Sang Alkemis, harta karun terbesar ada di
depan pintumu namun perlu ribuan kilometer untuk mencarinya karena hidup tak
semudah celotehan Mario Teguh atau pidato penjual obat maupun kartu perdana. Ribuan
luka mesti dirasakan, ratusan dera mesti diterima, kesedihan dan perpisahan
adalah titik menuju pertemuan, Tuhan tak selalu memberi jalan mudah, namun kekuatan untuk bertahan hiduplah yang
diberikanNya, membuatku bisa berada di titik ini, pada akhirnya aku menemukan
ruang di mana aku tak membutuhkan apa-apa lagi, tak ada lagi yang harus
kusakiti, dan hidupku tak perlu digantungkan pada cita-cita apapun. Disinilah
ujung pencarianku. Aku telah lelah mencari, saatnya untuk berhenti pada satu
titik dan memulai penggalianku. Inilah sebuah awal dari hidupku yang baru,
hidup yang baru saja kumulai.
Aku mulai percaya bahwa rumusan
hidup itu benar adanya, apakah aku jadi bodoh kemudian. Aku terus terang tak
tahu, dan lebih tepatnya aku tak peduli. Aku telah menemukan alasan kenapa aku
hidup, kenapa aku harus berjuang, kenapa aku harus berjalan sendirian, kenapa
aku harus cemburu, kenapa harus mengalah, kenapa harus membenci sesuatu. Aku
telah memiliki alasan!
Saat ini aku bersama makhluk-mahkluk
seperjuanganku sedang memasuki kantong-kantong hibernasi. Libur panjang,
sekaligus tidak jelas, dan aku pasrah. Sejak hari pertama hibernasi, segelintir
temanku sudah meringkuk di bawah saung habitatnya. Ketika akan berpisah, kami
sempat bercerita cukup lama. Hangat. Walau kutahu, itu hanya akan menambah gundukan
cemburu, rindu ayah-bundaku.
Di antara peniti-tataan tidur
panjangku, sekali-sekali aku memperhatikan kesibukan di sudut lorong kamarku.
Ada sesuatu yang janggal di sana. Sulit kutahan tawa, sebab di sana, ada banyak
kecoa yang berkelahi. Aku segera menghitung-hitung, ada berapa diantaranya yang
akan menjadi janda.
Aku tidak tahu, apakah aku yang
terlalu sekaratul rindu. Pastilah karena kerinduan akut akan kampung halaman,
atau karena penganiayaan batin tanpa belas kasihan. Tapi yang pasti, aku sudah bisa
menguatkan diri. Sendiri, di kamar asrama yang kurasa mendadak terlalu besar
setelah kepergian teman-temanku.
Sekali-sekali aku berkeliling
sekitar lorong asrama, mencari makhluk-makhluk yang mungkin masih taat sepertiku, sekedar menyapa,
melempar senyum, atau aku mencoba-coba mengajak tertawa. Bagiku sama saja.
Berkelana tidak hanya telah
membawaku ke tempat-tempat spektakuler sehingga aku terpaku, tak pula hanya
memberiku tantangan ganas yang menghadapkanku pada keputusan hitam-putih,
sehingga aku memahami manusia seperti apa aku ini. Pengembaraan ternyata
memiliki paru-parunya sendiri, yang dipompa oleh kemampuan menghitung setiap
resiko berpikir tiga langkah ke depan sebelum langkah pertama di ambil,
integritas yang tidak dapat ditawar-tawar dalam keadaan apapun, toleransi, dan
daya tahan. Semua itu lebih dari cukup untuk mengubah mentalitas manusia paling
bebal sekalipun. Para sufi dan mahasiswa filsafat barangkali melihatnya sebagai
hikmah komunikasi transedental dengan Sang Maha Pencipta melalui pencarian diri
sendiri dengan menerobos sekat-sekat agama dan budaya. Aku menyebutnya sebagai
akibat: Cinta Negeri.
Malam ini kulalui dengan dingin,
sunyi, tenang, quite, hening,
sesekali aku menciptakan kebisingan sendiri dengan memutar em pi tri dari telepon genggamku, keras-keras. Sesekali juga lagu
yang mengalun ku iringi dengan suaraku yang kuakui sendiri cukup merdu,
setidaknya tidak lebih bising daripada kaleng rombeng yang dipukul-pukul
penjual nasi goreng tengah malam di kampungku, setiap lewat pukul sepuluh
malam. Hari sudah pagi, tapi aku masih betah berlama-lama meringkuk di
ranjangku. Kutarik selimutku kuat-kuat, berusaha melawan kawanan nyamuk yang
mengeroyokiku. Sekali-dua kali kutepukkan tanganku, dan berakhirlah hidup
beberapa ekor nyamuk yang malang.
Aku masih sibuk berguling-guling
kepanasan di kamarku. Sekilas terbayang wajah teman-temanku yang sudah lebih
dulu memberanikan diri menuju habitatnya. Mungkin mereka sudah berbasah-basah
air mata mencium tangan ayah-ibunya, melepas rindu yang meloncat-loncat. Aku
bak pesakitan yang sudah lama tak mendapat kunjungan, menahan rasa rindu kronis
sekaligus akut yang meledak –ledak. Aku juga ingin bertemu dua orang yang ingin
kuciumi telapak kakinya itu. Orang yang setiap kata-katanya akan kujunjung tinggi
di atas pualam. Selalu.
Hhooooooaaaahhhhhhh… Aku menguap
lebar, mengantuk. Segera kutarik lagi selimutku kuat-kuat, dan kali ini aku
benar-benar ingin tidur, bermimpi. Dan tentu saja membawa harapan yang
menyentak-nyentak, esok hari akan ada pengumuman resmi hari libur, kalimat yang
sangat kuidam-idamkan. Yang sangat kunantikan, seperti penantian pengantin
wanita di ujung lorong menunggu sambutan tangan sang mempelai pria. Aku mulai
terlelap, dan akhirnya aku bermimpi. Indah.
Di dalam ruang anganku, mengalir senandung
syahdu, …libur tlah tiba… libur tlah tiba… hore! Hore!
Aku pun melayang dalam lautan awan.
___Home alone___
Note :
Berusaha taat, walau berat!
Teman-teman yang sudah pulang duluan, jangan
lupa bawa oleh-oleh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar