Jumat, 16 Agustus 2013

Sebuah Awal



Sebuah Awal

Siapa yang mengira bahwa bintang-bintang yang tersebar di angkasa tersusun dalam struktur yang rapi, siapa yang menyangka bahwa pergerakan  benda-benda langit tidaklah berantakan tanpa aturan, siapa menyangka bahwa awan tak akan muncul begitu saja di depan muka bumi, dan tentu saja bukanlah kebetulan bahwa bumi berbentuk bulat. Aku bukan hendak menceritakan tentang hebatnya sang pencipta yang bernama Tuhan, karena itu tidak akan pernah berakhir pembahasannya. Aku cuma hendak mengerti tentang garis merah antara hidup satu manusia dengan manusia-manusia lain, hidupku yang terlalu sederhana bagikupun ternyata terhubung dan berseliweran dengan hidup  banyak orang, bertautan kemudian terpisah tanpa ampun, menjadikan hidup ini adalah monster tanpa perasaan yang memaksa manusia untuk menjalani proses pertemuan dan kehilangan, tanpa ampun menghajar perasaan, memaksa otak untuk membuat pembenaran. “Ada jutaan bintang di atas sana, kau bisa memilih yang  mana saja karena ia cantik, besar atau bersinar paling terang, namun yang kau tak pernah bisa adalah memilih bintang mana yang akan datang padamu.”

          Apakah suatu kebetulan jika akhirnya aku menjadi seorang pendidik, bertemu dengan komplikasi manusia dengan segala macam perilaku, padahal aku seorang demonstran di awalnya, apakah kebetulan juga seorang militan pro-rakyat di masa kuliah, berubah menjadi pengeram sejati di masa produktifnya? Apakah kebetulan juga ketika masa dewasaku diisi dengan pertemuan-pertemuan di masa mahasiswaku? Telah kujalani rentangan masa yang panjang untuk melihat kebanyakan forma-forma tubuh yang lemah ini, telah kupancangkan juga cita-cita setinggi langit sesuai kata mutiara sang manusia hebat namun kenapa justru hidupku berujung pada sebuah harapan sederhana, terlalu sederhana bagi orang-orang yang berpikir besar. Rumusan Lahir-Muda-Sekolah-Nikah-Tua-Mati malah makin nyata menjadi cetak biru hidupku, lempang-lempang saja pada akhirnya meski seberapa besarnya aku pernah memberontak terhadap rumus itu, berjuang mati-matian untuk membuktikan rumusan itu salah, bahwa itu bukan jalan bahagia. Tapi di ujung malam, di sinilah aku, tepat menjalani seperti rumus itu. Sampai akhirnya lamunan kala fajar itu dipecahkan oleh sebuah suara.

          “Kamu ngga tidur sayang, masih suka bicara pada langit dan tinggalkan aku sendiri di luar sana?” itu bunyi pesan pada telepon genggamku yang telah mengembalikan aku dari lamunan panjang. Pacarku yang setia, akhh… aku lebih senang menyebutnya kekasih. Orang yang dengan senang hati membagi hatinya untukku, walau kadang aku bingung mengapa ia melakukannya. Aku terpukau mendapati diri sebagai kekasihnya. Dewi fortuna pasti sedang kelilipan sewaktu membagikan jatah mujur hidup bagian ini. Aku menganggapnya sebagai konstelasi bintang penunjuk arah yang mulai kupahami, kini semua enigma tentang hidup terang bagiku.

          “Terimakasih untuk waktu-waktu yang indah, rasa sakit yang saling kita derakan namun tak pernah kau meninggalkanku untuk menanggungnya sendiri.” Segera ku kirimkan pesan balasan pada dia.

          Coelho tak asal cuap ketika menciptakan Sang Alkemis, harta karun terbesar ada di depan pintumu namun perlu ribuan kilometer untuk mencarinya karena hidup tak semudah celotehan Mario Teguh atau pidato penjual obat maupun kartu perdana. Ribuan luka mesti dirasakan, ratusan dera mesti diterima, kesedihan dan perpisahan adalah titik menuju pertemuan, Tuhan tak selalu memberi jalan mudah,  namun kekuatan untuk bertahan hiduplah yang diberikanNya, membuatku bisa berada di titik ini, pada akhirnya aku menemukan ruang di mana aku tak membutuhkan apa-apa lagi, tak ada lagi yang harus kusakiti, dan hidupku tak perlu digantungkan pada cita-cita apapun. Disinilah ujung pencarianku. Aku telah lelah mencari, saatnya untuk berhenti pada satu titik dan memulai penggalianku. Inilah sebuah awal dari hidupku yang baru, hidup yang baru saja kumulai.

Aku mulai percaya bahwa rumusan hidup itu benar adanya, apakah aku jadi bodoh kemudian. Aku terus terang tak tahu, dan lebih tepatnya aku tak peduli. Aku telah menemukan alasan kenapa aku hidup, kenapa aku harus berjuang, kenapa aku harus berjalan sendirian, kenapa aku harus cemburu, kenapa harus mengalah, kenapa harus membenci sesuatu. Aku telah memiliki alasan!

Saat ini aku bersama makhluk-mahkluk seperjuanganku sedang memasuki kantong-kantong hibernasi. Libur panjang, sekaligus tidak jelas, dan aku pasrah. Sejak hari pertama hibernasi, segelintir temanku sudah meringkuk di bawah saung habitatnya. Ketika akan berpisah, kami sempat bercerita cukup lama. Hangat. Walau kutahu, itu hanya akan menambah gundukan cemburu, rindu ayah-bundaku.

Di antara peniti-tataan tidur panjangku, sekali-sekali aku memperhatikan kesibukan di sudut lorong kamarku. Ada sesuatu yang janggal di sana. Sulit kutahan tawa, sebab di sana, ada banyak kecoa yang berkelahi. Aku segera menghitung-hitung, ada berapa diantaranya yang akan menjadi janda. 

Aku tidak tahu, apakah aku yang terlalu sekaratul rindu. Pastilah karena kerinduan akut akan kampung halaman, atau karena penganiayaan batin tanpa belas kasihan. Tapi yang pasti, aku sudah bisa menguatkan diri. Sendiri, di kamar asrama yang kurasa mendadak terlalu besar setelah kepergian teman-temanku.

Sekali-sekali aku berkeliling sekitar lorong asrama, mencari makhluk-makhluk yang mungkin masih taat sepertiku, sekedar menyapa, melempar senyum, atau aku mencoba-coba mengajak tertawa. Bagiku sama saja. 

Berkelana tidak hanya telah membawaku ke tempat-tempat spektakuler sehingga aku terpaku, tak pula hanya memberiku tantangan ganas yang menghadapkanku pada keputusan hitam-putih, sehingga aku memahami manusia seperti apa aku ini. Pengembaraan ternyata memiliki paru-parunya sendiri, yang dipompa oleh kemampuan menghitung setiap resiko berpikir tiga langkah ke depan sebelum langkah pertama di ambil, integritas yang tidak dapat ditawar-tawar dalam keadaan apapun, toleransi, dan daya tahan. Semua itu lebih dari cukup untuk mengubah mentalitas manusia paling bebal sekalipun. Para sufi dan mahasiswa filsafat barangkali melihatnya sebagai hikmah komunikasi transedental dengan Sang Maha Pencipta melalui pencarian diri sendiri dengan menerobos sekat-sekat agama dan budaya. Aku menyebutnya sebagai akibat: Cinta Negeri.

Malam ini kulalui dengan dingin, sunyi, tenang, quite, hening, sesekali aku menciptakan kebisingan sendiri dengan memutar em pi tri dari telepon genggamku, keras-keras. Sesekali juga lagu yang mengalun ku iringi dengan suaraku yang kuakui sendiri cukup merdu, setidaknya tidak lebih bising daripada kaleng rombeng yang dipukul-pukul penjual nasi goreng tengah malam di kampungku, setiap lewat pukul sepuluh malam. Hari sudah pagi, tapi aku masih betah berlama-lama meringkuk di ranjangku. Kutarik selimutku kuat-kuat, berusaha melawan kawanan nyamuk yang mengeroyokiku. Sekali-dua kali kutepukkan tanganku, dan berakhirlah hidup beberapa ekor nyamuk yang malang.

Aku masih sibuk berguling-guling kepanasan di kamarku. Sekilas terbayang wajah teman-temanku yang sudah lebih dulu memberanikan diri menuju habitatnya. Mungkin mereka sudah berbasah-basah air mata mencium tangan ayah-ibunya, melepas rindu yang meloncat-loncat. Aku bak pesakitan yang sudah lama tak mendapat kunjungan, menahan rasa rindu kronis sekaligus akut yang meledak –ledak. Aku juga ingin bertemu dua orang yang ingin kuciumi telapak kakinya itu. Orang yang setiap kata-katanya akan kujunjung tinggi di atas pualam. Selalu.

Hhooooooaaaahhhhhhh… Aku menguap lebar, mengantuk. Segera kutarik lagi selimutku kuat-kuat, dan kali ini aku benar-benar ingin tidur, bermimpi. Dan tentu saja membawa harapan yang menyentak-nyentak, esok hari akan ada pengumuman resmi hari libur, kalimat yang sangat kuidam-idamkan. Yang sangat kunantikan, seperti penantian pengantin wanita di ujung lorong menunggu sambutan tangan sang mempelai pria. Aku mulai terlelap, dan akhirnya aku bermimpi. Indah.

Di dalam ruang anganku, mengalir senandung syahdu, …libur tlah tiba… libur tlah tiba… hore! Hore!
 
Aku pun melayang dalam lautan awan. 

___Home alone___
Note : Berusaha taat, walau berat!
           Teman-teman yang sudah pulang duluan, jangan lupa bawa oleh-oleh.






           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar