Aku Cinta Negeriku, Kawan!
Negaraku
di kenal sebagai Negara yang kaya. Dengan letak geografis diantara dua benua
dan dua samudra, sehingga menjadikan posisinya sangat strategis sebagai jalur
perdagangan. Bahkan berabad-abad yang lalu negaraku menjadi daerah yang sangat
menarik pihak kapitalis untuk menguasai negaraku. Mungkin sampai sekarang masih
ada dalam sejarah anak sekolah dasar, bagaimana proses penjajahan itu
berlangsung, dan bagaimana beratnya penderitaan bangsa ini menghadapinya.
Aku
pernah mendengar bagaimana si A menjajah, berlaku sangat kejam kepada negeri
ini, tetapi padaku ditekankan oleh buyutku bagaimana kerasnya perjuangan rakyat
menghadapinya. Buyutku dengan bangga juga bercerita kepadaku tentang betapa
besarnya rasa nasionalisme yang dimiliki oleh rakyat, berjuang bahu-membahu
walau hanya dengan potensi seadanya. Tetapi yang ku tahu, mereka akan
mengorbankan apa saja untuk membela negeri ini. Sekali merdeka, Tetap merdeka.
Semboyan nenek moyangku yang sering kunyanyikan lewat lagu perjuangan yang
berjudul “17 Agustus tahun ‘45”. Dan sampai sekarangpun, aku masih merinding
jika mendengar atau menyanyikan lagu itu.
Negaraku
juga sangat terkenal sebagai Negara yang subur. Terbentang antara 6oLintang
Utara – 11o Lintang Selatan dan 95o Bujur Timur – 141o
Bujur Timur, dan hampir bisa dipastikan bahwa di setiap incinya mampu
menghasilkan sesuatu yang berharga. Selain kekayaannya, negeriku ini juga
memiliki iklim tropis, yang sangat di idamkan oleh semua orang, singkat kata,
negeriku ini sangat ideal.
Aku
tidak sedang promosi untuk membanggakan negeriku ini kepada siapapun yang dari
negeri lain. Bukan aku tidak bangga kawan, tapi aku tahu bahwa tanpa
kupromosikanpun negaraku sudah terkenal keistimewaannya. Terbukti kawan,
negaraku dijajah hampir selama 354 tahun oleh beberapa Negara yang berbeda. Itu
karena begitu istimewanya negaraku ini. Dan aku sangat berbangga dengan itu, aku cinta negriku kawan.
Negaraku memiliki
tingkat kemajuan sebagai negara berkembang , dan sampai saat inipun negaraku
masih berkembang. Masih kuingat kawan, semasa aku duduk di sekolah dasar, aku
begitu bangga dengan sebutan “Negara
berkembang” yang di sematkan pada bangsaku. Kebanggaan yang murni kawan!
Kebanggaanku begitu tulus kurasakan mengetahui negaraku sedang berkembang.
Sungguh..
Usiaku
bertambah, dan sekarang aku sudah dewasa, dan masa sekolah dasar itu sudah
berlalu belasan tahun silam. Dan tahukah kamu kawan? Negaraku masih gigih dengan gelarnya, “Negara
Berkembang”. Dan setelah melalui beberapa proses pemahaman, aku semakin
mengerti kawan, apa arti sesungguhnya dari dua kata yang membentuk prasa
tersebut: “Negara Berkembang”. Aku
semakin paham dengan apa yang terjadi sesungguhnya, setelah memiliki title
“MERDEKA” hampir selama 68 tahun bangsaku merdeka, bangsaku masih setia dengan
prasa tadi. Apakah menurutmu aku sudah tidak bangga lagi terhadap negeriku
kawan?
Jawabannya, aku tetap cinta bangsaku, aku
tetap cinta negeriku kawan!
Bangsaku
dikenal orang sebagai Negara beragama. Negaraku juga di kenal sebagai Negara
yang menjunjung tinggi norma-norma. Ironisnya kawan, bangsaku ini juga dikenal
sebagai bangsa yang memiliki konflik agama yang rumit, juga di bangsaku ini hukum
bisa menyesuaikan diri. Kejadian – kejadian konflik agama sudah banyak
menimbulkan korban jiwa di negaraku ini. Dan hampir semua orang tahu, bahwa di
negaraku seseorang yang ketahuan mencuri sebuah mangga bisa dihukum jauh lebih
berat daripada mereka yang telah mencuri triliunan uang Negara dan yang pasti
sudah jelas menyengsarakan jutaan rakyat.
Itulah negeriku kawan, hukum benar-benar bisa “menyesuaikan diri”.
Apakah rakyat tidak
sadar dengan penyimpangan itu? Kurasa bukan tidak sadar kawan. Bahkan jika kamu
bertanya padaku, mungkin aku juga bingung akan menjawab apa. Bagaimana tidak?
Pelosok manapun dan bidang apapun yang ditekuni bangsaku, informasi tentang
ketidakberesan yang terjadi dalam negeriku ini dapat langsung terbagikan.
Disini mungkin aku perlu menegaskan betapa beruntungnya kita dengan kemajuan
tekhnologi ini. Tidak perduli apa profesinya, jenjang umurnya, jika ada berita
pejabat korupsi di bangsa ini, mereka akan membincangkannya dengan lugas. Jika
ada khasus pelanggaran hukum yang tersiar di media, maka rakyat bangsaku juga
akan turut pula sibuk membahasnya. Bahkan kawan, di antara mereka yang membahas
itu, aku ada di sana. Aku turut mengambil bagian dalam perbincangan bagaimana
bobroknya hukum negeri ini, bagaimana reotnya system pemerintahan bangsa ini,
atau mungkin kamu juga ada dalam perbincangan ini kawan?
Bagaimana sebuah model
pakaian yang trend, hampir seperti
itulah musim khasus yang terjadi di
negaraku. Ketika sebuah khasus terangkat, maka itu akan menjadi buah bibir di
negeriku. Tetapi dari sepanjang yang aku tahu, trend itu akan berlalu ketika
ada model terbaru yang menyita perhatian. Dan tentu saja kawan, khasus di
negeriku juga akan tenggelam seiring dengan “ngetrend”nya khasus baru. Kasus lama kemana? Kami rakyat awam ini
hanya akan mampu berkata “lenyap perlahan-lahan” kawan. Apakah aku menjadi
benci negeri ini? Hmm, aku masih tetap cinta
negeriku kawan!
Kemanakah hukum di
sembunyikan?
Aku rasa hukum masih di tempatnya kawan, hanya saja dia sudah pandai menyesuaikan diri
kepada siapakah dia digunakan, dan kepada siapa dia kehilangan kemujarabannya. Negaraku sudah 68 tahun
merdeka secara hukum kawan, secara resmi dan di akui Negara lain. Bahkan
peristiwa itu masih kuingat kawan tercantum dalam proklamasi yang di suarakan
oleh “Soekarno-Hatta”. Memang bukan waktu yang singkat lagi kawan, bahkan sudah
cukup matang. Tapi, sayangnya kawan, bangsaku masih sering di cekam rasa terjajah yang amat sangat. Kamu
mungkin tahu kawan, peristiwa-peristiwa di bangsaku yang menunjukkan
“ketidakmerdekaan” yang masih membelenggu rakyatnya. Sungguh sangat banyak
kawan. Sangat!
Peristiwa yang saat ini ku alami kawan bersama
beberapa orang rekanku, ku kategorikan sebagai bentuk “terjajah”. Hidup kami
sekarang (di kota yang kami tempati saat
ini) rasanya bukanlah hidup yang kami inginkan, melainkan yang orang lain
inginkan untuk kami. Bagaimana kami makan, apa yang harus kami makan, kemana
kami pergi, dengan apa kami pergi, dengan siapa kami pergi, bagaimana kami
menggunakan uang, kami tidak bisa memilih kawan. Bahkan apakah kami sakit atau
tidak, orang lainlah yang mengatur. Walau kami harus menyeret langkah kami yang
terseok-seok karena sebenarnya kami sakit, jika dia berkata kami sehat-maka itu
artinya-kami sehat. Sayangnya kawan, orang-orang yang kumaksud disini bukanlah
mereka yang pada bidangnya. Engkau paham maksudku kawan?
Ini bukan ilusi kawan, tetapi inilah faktanya, walau
sebenarnya aku lebih suka jika semua hanyalah ilusi semata. Kecewanya, ini
fakta. Fakta yang kami sama-sama tahu, tetapi akan sama-sama kami kubur pula.
Kenapa? Karena kami ”terjajah” kawan.
Dan tahukah kamu bagaimana kondisi ketika sedang dijajah? Hmm, engkau
pasti sudah faham teman.
Setiap hari aku dan beberapa rekanku harus selalu
awas, bagaimana si “penjajah” berusaha mengintervensi hidup kami. Dan yang
pasti kawan, hidup yang kami jalani bukanlah hidup yang kami mau, tetapi apa
yang mereka mau. “Hidup dengan Tendensi”. Mungkin kalimat pendek itu cukup
mewakili kondisi penjajahan ini. Penjajahan kawan!
Aku bercerita tentang negeriku kawan, dan aku masih
tetap berada di dalamnya, bahkan penjajahan yang kualamipun datang dari
negeriku sendiri. Ironis? Memang!
Tetapi bukan berarti aku benci
bangsaku. Aku masih tetap cinta negaraku, aku cinta negeriku kawan..
Voices of
the some heart.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar