Jumat, 16 Agustus 2013

Jangan Khawatir



Jangan Khawatir.
                                                                                                      Berdasarkan kisah hidup seseorang.
Siang itu panas matahari seperti mau memanggang desaku (desaku Nagasaribu, red). Kegerahan tengah hari itu seperti akan mencairkan semua tulang-tulang yang ada di tubuhku. Aku bergeser menepikan diri ke bawah lindungan pohon pinus yang tumbuh di sepanjang pinggiran jalan raya yang melintasi perkampunganku. Hari itu aku sedang menunggu bus yang akan membawaku ke kota Medan. “Akh, sepertinya aku akan gosong luar dalam” gumamku sambil memijit-mijit kecil kepalaku. Siang itu kepalaku memang sedang dipenuhi pikiran yang kuragukan akan mampu meledakkan kepalaku, ditambah cuaca panas yang begitu menyengat menambah keyakinanku bahwa aku akan benar-benar gosong terbakar.

                “Janganlah kau menikah dengan dia itu ya inang (inang adalah sebutan untuk perempuan dalam bahasa Batak), akhirilah sekarang hubunganmu dengan dia sebelum terlalu sulit nanti bagimu”. Kata-kata yang di ucapkan ibuku tadi malam terus terngiang-ngiang melekat dalam fikiranku. Seandainya ibuku mengucapkan kata-kata itu dengan nada amarah, mungkin tidak akan terlalu meyesakkan hatiku seperti ini. Ada harapan yang memelas dan tatapan yang sangat lembut ditujukan ibuku padaku ketika mengatakannya. Suaranya yang bergetar, terus berdengung di telingaku. Aku menunduk mendengarnya, dan ada rasa sakit yang terlalu menyayat perasaanku. Tanpa sanggup menjawab apalagi membantah, aku hanya bisa diam menahan tangis yang hampir tertumpah malam itu. Aku tidak menyalahkan ibuku untuk semua itu. Ibuku hanya berharap aku bisa menikah dengan laki-laki yang berasal dari keluarga berada, dan sudah dipilihkannya untukku. Ibuku berharap anaknya tidak mengalami nasib yang sama dengan dirinya mendapatkan keluarga baru yang berlatar belakang berat dengan kemiskinan. “ Kalau kamu menikah dengan dia, kamu akan menjadi tulang punggung keluarga itu, menafkahi keluarga sebesar itu.. Akh, Ibu nggak sanggup melihatmu nanti”. Ibuku mengungkapkan kekhawatirannya dengan berurai air mata dan tangan yang diremas-remas menyembunyikan emosinya yang begitu dalam.

                Teeettttt. Suara klakson bus yang menghampiriku menyadarkan lamunanku. “oh, Medan bang!” aku menunjuk kernet bus yang menuju ke arahku. “ Ayo, silakan dek.” Sang kernet turun dan membukakan pintu bus untukku. Akupun segera melangkah naik dengan menenteng tas kecilku, dan menduduki kursi kosong yang ada. Hari ini kuputuskan pergi ke Medan untuk merehatkan otakku dari masalah perjodohan ini. Aku merasa perlu mencari waktu dan tempat yang bisa kugunakan untuk merenung, mencari jawaban dan keputusan apa yang akan kuberikan kepada orang tuaku.

                “ Kita berdoa bersama ya Min (Min adalah sebutan khusus yang kami pakai sejak masa berpacaran), kita serahkan semua kepadaNya. Kita pasti akan diberi jalan keluar untuk semua ini” Suara lembut Gito, pacarku menenangkan aku ketika aku menghubunginya lewat handpone untuk menceritakan masalah perjodohanku. “Kamu harus kuat, jangan membebani fikiranmu dengan masalah itu. Kita akan menghadapinya bersama-sama. Apapun keputusannya, kita doakanlah dulu dan meminta petunjukNya”. Dengan hati-hati Gito menasehatiku. Setelah beberapa lama kami mengobrol, akhirnya dia berpamitan menutup telpon dengan sebelumnya berpesan kepadaku untuk tidak lupa makan malam.

                Gito adalah pacar pertamaku, dan yang selalu kuimpikan menjadi pacar terakhirku juga, akan mendampingi hidupku kelak hingga akhir hayat. Dia bukanlah pria yang terlalu tampan, tetapi sangat tampan bagiku dengan sifatnya yang terlalu sempurna untuk ukuran laki-laki muda saat ini menurutku, dan lagi, aku juga terpesona dengan ketampanan otaknya yang selalu berlangganan juara umum di sekolahnya. Dia juga bukan berasal dari keluarga berada, tetapi anak tertua dari lima bersaudara yang sudah kehilangan ayahnya sejak Gito duduk di bangku SMP tahun kedua. Mereka hidup dan sekolah dari hasil berjualan sayur ibunya dipasar yang ada di daerahku. Aku mengenalnya delapan tahun yang lalu ketika kami masih duduk di bangku pertama SMA. Dia bukanlah teman satu sekolahku, tetapi teman satu sekolah dengan tetanggaku yang dikenalkan padaku. Kami semakin sering bertemu untuk bertukar teks lagu paduan suara yang kami ikuti di gereja kami masing-masing.  Gito tidak begitu menarik bagiku saat itu, dengan penampilannya yang cukup polos untuk ukuran anak muda seukurannya. Selama tiga tahun kami hanya menjalin persahabatan, bertukar teks lagu koor, hingga saling berjanji untuk meraih cita-cita yang kami impikan.

                Tahun terakhir sekolah, aku mendaftarkan diri ikut ujian SNMPTN di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Medan. Aku berangkat dari desaku dengan diantar oleh kedua orang tuaku. Aku mencari-cari informasi tentang Gito, tetapi tidak ada satu orangpun yang tau sejak kami putus komunikasi di tahun terakhir sekolah. Ada rasa kehilangan dan rindu yang menyadarkanku akan pentingnya kehadiran Gito untukku. Aku menjalani hari-hari perkuliahanku dengan tetap mencari keberadaan Gito, hingga suatu hari aku mengikuti kebaktian padang (kebaktian di daerah terbuka semacam taman atau kebun) yang diadakan sebuah organisasi mahasiswa Kristen di kampusku. Aku menajamkan penglihatanku pada salah seorang pemain gitar yang mengiringi kebaktian kami. Jantungku langsung berdegup kencang saat menyadari siapa laki-laki itu. Dia adalah Gito, sahabatku yang selama ini kucari-cari. Aku mengikuti kebaktian hingga selesai dengan hati yang tidak tenang, dan sesekali mencuri pandang kepadanya. Aku tidak berani mendekatinya apalagi menegurnya. Kebaktian sudah usai dan semua peserta berkemas untuk pulang semakin membuat aku hampir putus asa sampai ketika sesorang menepuk pundakku. Aku menoleh, dan ternyata itu adalah Gito. Rupanya dia juga memperhatikan aku selama kebaktian, dan katanya dia menunggu acara selesai untuk menghampiriku. Itulah hari pertama pertemuan kami kembali setelah sekian lama kami putus komunikasi. Saat itu aku tahu kalau Gito ternyata kuliah di sebuah universitas negeri lain yang ada di kota Medan, dan dia juga memberitahuku kalau dirinya sudah lama mencariku, dan tentu saja hal itu membuat hatiku terlalu senang. Singkat cerita hubungan kami semakin dekat, hingga akhirnya kami memutuskan untuk berpacaran di tahun ketiga kuliahku.

                Aku sangat bahagia selama berpacaran dengan Gito. Bagiku dia adalah sahabat yang sudah banyak membantu  mengubahkan kepribadianku. Banyak hal yang kukagumi dari dirinya, dan memotivasiku untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dan tentu saja, semua hal itu membuat aku semakin menyangi dia. Itu sudah berlangsung selama empat tahun ini, hingga masalah perjodohan ini menimpa kami, khususnya menimpaku. Aku sungguh terpukul dengan semua ini, karena menurutku saat aku harus berpisah dari Gito adalah saat terakhir aku juga untuk dapat menghirup nafas lagi. “Akh,,”. Tanpa sadar aku berdesah berat sambil memegang kepalaku, yang rupanya di perhatikan oleh perempuan setengah baya yang duduk di sebelah kananku. “Bah, kenapa kau dek. Kayaknya berat kali fikiranmu, ada masalah apa rupanya?” Ibu itu bertanya kepadaku sembari memandangku dengan iba. “Oh, nggak apa-apa kok bu.” Aku menyahut sembil mencoba tersenyum kepada ibu itu. “Ah, nggak mungkin. Kok bisa semarsak itu kau kalo nggak ada masalah (marsak adalah bahasa Batak yang artinya Murung, sedih). Masalah laki-laki ya?” perempuan itu kembali bertanya dengan pandangan menyelidik bercampur kasihan. Aku tersenyum ke arahnya sambil menyembunyikan keterkejutanku atas dugaan ibu itu. Mungkin karena fikiranku yang sudah sangat kalut, dan kekagumanku terhadap sikap ibu itu yang menunjukkan rasa simpatik yang dalam terhadap aku, dengan lugas aku langsung menceritakan masalahku pada ibu itu. Dengan tangannya yang sudah mulai keriput, perempuan itu mengelus-elus kepalaku dan dengan penuh keibuan perempuan itu menasehatiku. “ Benar dek, berdoalah. Minta pertolongaNya. Jangan khawatir, karena itu adalah sia-sia. Biarlah Tuhan yang akan bekerja atas semua ini, kamu jangan diperbudak kekhawatiranmu. Jawaban Tuhan adalah indah.” Ibu itu menyunggingkan senyum yang kurasa mampu menghembuskan beban yang ada dalam hatiku. Akupun mengucapkan terima kasih kepada perempuan itu dengan hati yang sangat lega.

                “Oh ya, kernet. Tolong bilang pada supirnya aku turun di persimpangan jalan yang ada di depan itu.” Ibu yang ada disampingku berkata kepada sang kernet bus. Beliau rupanya sudah sampai di tujuan. Sambil menoleh ke arahku ibu itu berkata dengan lembut, “ Duluan Ibu ya dek. Ingat, serahkan padaNya”. Dia berpesan padaku dengan senyum yang tetap menghiasi bibirnya sambil melangkah turun. Bus kembali melanjutkan perjalanan menuju kota Medan dengan perubahan baru yang aku rasakan. “Ya, aku tidak perlu khawatir, Tuhan yang berkuasa”. Aku berkata dalam hati dengan semangat baru yang kuperoleh berkat perempuan setengah baya seperjalanaku, yang menurutku dikirim Tuhan untuk menolongku.

                “Maafkan aku Tuhan, yang sudah di kuasai kekhawatiran dan mengandalkan fikiranku. Kedalam kuasaMu aku serahkan segala hidupku. Thanks God”. Aku tersenyum mengingat cara Tuhan menolong anakNya. Dengan menyandarkan kepalaku, aku mencoba memejamkan mataku yang memang sudah berat karena mengantuk, sambil menunggu bus yang kutumpangi akan sampai di kota Medan.

“Janganlah kuatir, karena itu adalah sia-sia. Ketika kekhawatiran memperbudakmu, engkau tidak akan dapat mendengar perkataanNYA. Percayalah, jawaban Tuhan adalah INDAH.”

                Kisah ini di tulis berdasarkan kisah hidup seorang sahabat dengan beberapa perubahan, yang saat ini masih menunggu jawaban dari Tuhan.  ^_^
                                                                               
                “Everything for YOU GOD”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar