Jangan Khawatir.
Berdasarkan kisah hidup seseorang.
Siang itu panas matahari seperti mau
memanggang desaku (desaku Nagasaribu, red).
Kegerahan tengah hari itu seperti akan mencairkan semua tulang-tulang yang ada
di tubuhku. Aku bergeser menepikan diri ke bawah lindungan pohon pinus yang
tumbuh di sepanjang pinggiran jalan raya yang melintasi perkampunganku. Hari
itu aku sedang menunggu bus yang akan membawaku ke kota Medan. “Akh, sepertinya
aku akan gosong luar dalam” gumamku sambil memijit-mijit kecil kepalaku. Siang
itu kepalaku memang sedang dipenuhi pikiran yang kuragukan akan mampu
meledakkan kepalaku, ditambah cuaca panas yang begitu menyengat menambah
keyakinanku bahwa aku akan benar-benar gosong terbakar.
“Janganlah kau
menikah dengan dia itu ya inang (inang
adalah sebutan untuk perempuan dalam bahasa Batak), akhirilah sekarang
hubunganmu dengan dia sebelum terlalu sulit nanti bagimu”. Kata-kata yang di
ucapkan ibuku tadi malam terus terngiang-ngiang melekat dalam fikiranku.
Seandainya ibuku mengucapkan kata-kata itu dengan nada amarah, mungkin tidak
akan terlalu meyesakkan hatiku seperti ini. Ada harapan yang memelas dan
tatapan yang sangat lembut ditujukan ibuku padaku ketika mengatakannya.
Suaranya yang bergetar, terus berdengung di telingaku. Aku menunduk
mendengarnya, dan ada rasa sakit yang terlalu menyayat perasaanku. Tanpa
sanggup menjawab apalagi membantah, aku hanya bisa diam menahan tangis yang
hampir tertumpah malam itu. Aku tidak menyalahkan ibuku untuk semua itu. Ibuku
hanya berharap aku bisa menikah dengan laki-laki yang berasal dari keluarga
berada, dan sudah dipilihkannya untukku. Ibuku berharap anaknya tidak mengalami
nasib yang sama dengan dirinya mendapatkan keluarga baru yang berlatar belakang
berat dengan kemiskinan. “ Kalau kamu menikah dengan dia, kamu akan menjadi
tulang punggung keluarga itu, menafkahi keluarga sebesar itu.. Akh, Ibu nggak
sanggup melihatmu nanti”. Ibuku mengungkapkan kekhawatirannya dengan berurai
air mata dan tangan yang diremas-remas menyembunyikan emosinya yang begitu
dalam.
Teeettttt. Suara
klakson bus yang menghampiriku menyadarkan lamunanku. “oh, Medan bang!” aku
menunjuk kernet bus yang menuju ke arahku. “ Ayo, silakan dek.” Sang kernet
turun dan membukakan pintu bus untukku. Akupun segera melangkah naik dengan
menenteng tas kecilku, dan menduduki kursi kosong yang ada. Hari ini kuputuskan
pergi ke Medan untuk merehatkan otakku dari masalah perjodohan ini. Aku merasa
perlu mencari waktu dan tempat yang bisa kugunakan untuk merenung, mencari
jawaban dan keputusan apa yang akan kuberikan kepada orang tuaku.
“ Kita berdoa
bersama ya Min (Min adalah sebutan
khusus yang kami pakai sejak masa berpacaran), kita serahkan semua kepadaNya.
Kita pasti akan diberi jalan keluar untuk semua ini” Suara lembut Gito, pacarku
menenangkan aku ketika aku menghubunginya lewat handpone untuk menceritakan
masalah perjodohanku. “Kamu harus kuat, jangan membebani fikiranmu dengan
masalah itu. Kita akan menghadapinya bersama-sama. Apapun keputusannya, kita
doakanlah dulu dan meminta petunjukNya”. Dengan hati-hati Gito menasehatiku.
Setelah beberapa lama kami mengobrol, akhirnya dia berpamitan menutup telpon
dengan sebelumnya berpesan kepadaku untuk tidak lupa makan malam.
Gito adalah pacar
pertamaku, dan yang selalu kuimpikan menjadi pacar terakhirku juga, akan
mendampingi hidupku kelak hingga akhir hayat. Dia bukanlah pria yang terlalu
tampan, tetapi sangat tampan bagiku dengan sifatnya yang terlalu sempurna untuk
ukuran laki-laki muda saat ini menurutku, dan lagi, aku juga terpesona dengan
ketampanan otaknya yang selalu berlangganan juara umum di sekolahnya. Dia juga
bukan berasal dari keluarga berada, tetapi anak tertua dari lima bersaudara
yang sudah kehilangan ayahnya sejak Gito duduk di bangku SMP tahun kedua.
Mereka hidup dan sekolah dari hasil berjualan sayur ibunya dipasar yang ada di
daerahku. Aku mengenalnya delapan tahun yang lalu ketika kami masih duduk di
bangku pertama SMA. Dia bukanlah teman satu sekolahku, tetapi teman satu
sekolah dengan tetanggaku yang dikenalkan padaku. Kami semakin sering bertemu
untuk bertukar teks lagu paduan suara yang kami ikuti di gereja kami
masing-masing. Gito tidak begitu menarik
bagiku saat itu, dengan penampilannya yang cukup polos untuk ukuran anak muda
seukurannya. Selama tiga tahun kami hanya menjalin persahabatan, bertukar teks
lagu koor, hingga saling berjanji untuk meraih cita-cita yang kami impikan.
Tahun terakhir
sekolah, aku mendaftarkan diri ikut ujian SNMPTN di salah satu perguruan tinggi
negeri di kota Medan. Aku berangkat dari desaku dengan diantar oleh kedua orang
tuaku. Aku mencari-cari informasi tentang Gito, tetapi tidak ada satu orangpun
yang tau sejak kami putus komunikasi di tahun terakhir sekolah. Ada rasa
kehilangan dan rindu yang menyadarkanku akan pentingnya kehadiran Gito untukku.
Aku menjalani hari-hari perkuliahanku dengan tetap mencari keberadaan Gito,
hingga suatu hari aku mengikuti kebaktian padang (kebaktian di daerah terbuka
semacam taman atau kebun) yang diadakan sebuah organisasi mahasiswa Kristen di
kampusku. Aku menajamkan penglihatanku pada salah seorang pemain gitar yang
mengiringi kebaktian kami. Jantungku langsung berdegup kencang saat menyadari
siapa laki-laki itu. Dia adalah Gito, sahabatku yang selama ini kucari-cari.
Aku mengikuti kebaktian hingga selesai dengan hati yang tidak tenang, dan
sesekali mencuri pandang kepadanya. Aku tidak berani mendekatinya apalagi
menegurnya. Kebaktian sudah usai dan semua peserta berkemas untuk pulang
semakin membuat aku hampir putus asa sampai ketika sesorang menepuk pundakku.
Aku menoleh, dan ternyata itu adalah Gito. Rupanya dia juga memperhatikan aku
selama kebaktian, dan katanya dia menunggu acara selesai untuk menghampiriku.
Itulah hari pertama pertemuan kami kembali setelah sekian lama kami putus
komunikasi. Saat itu aku tahu kalau Gito ternyata kuliah di sebuah universitas
negeri lain yang ada di kota Medan, dan dia juga memberitahuku kalau dirinya
sudah lama mencariku, dan tentu saja hal itu membuat hatiku terlalu senang. Singkat
cerita hubungan kami semakin dekat, hingga akhirnya kami memutuskan untuk
berpacaran di tahun ketiga kuliahku.
Aku sangat
bahagia selama berpacaran dengan Gito. Bagiku dia adalah sahabat yang sudah
banyak membantu mengubahkan
kepribadianku. Banyak hal yang kukagumi dari dirinya, dan memotivasiku untuk
menjadi pribadi yang lebih baik. Dan tentu saja, semua hal itu membuat aku
semakin menyangi dia. Itu sudah berlangsung selama empat tahun ini, hingga
masalah perjodohan ini menimpa kami, khususnya menimpaku. Aku sungguh terpukul
dengan semua ini, karena menurutku saat aku harus berpisah dari Gito adalah
saat terakhir aku juga untuk dapat menghirup nafas lagi. “Akh,,”. Tanpa sadar
aku berdesah berat sambil memegang kepalaku, yang rupanya di perhatikan oleh
perempuan setengah baya yang duduk di sebelah kananku. “Bah, kenapa kau dek.
Kayaknya berat kali fikiranmu, ada masalah apa rupanya?” Ibu itu bertanya
kepadaku sembari memandangku dengan iba. “Oh, nggak apa-apa kok bu.” Aku
menyahut sembil mencoba tersenyum kepada ibu itu. “Ah, nggak mungkin. Kok bisa
semarsak itu kau kalo nggak ada masalah (marsak
adalah bahasa Batak yang artinya Murung, sedih). Masalah laki-laki ya?”
perempuan itu kembali bertanya dengan pandangan menyelidik bercampur kasihan.
Aku tersenyum ke arahnya sambil menyembunyikan keterkejutanku atas dugaan ibu
itu. Mungkin karena fikiranku yang sudah sangat kalut, dan kekagumanku terhadap
sikap ibu itu yang menunjukkan rasa simpatik yang dalam terhadap aku, dengan
lugas aku langsung menceritakan masalahku pada ibu itu. Dengan tangannya yang
sudah mulai keriput, perempuan itu mengelus-elus kepalaku dan dengan penuh
keibuan perempuan itu menasehatiku. “ Benar dek, berdoalah. Minta
pertolongaNya. Jangan khawatir, karena
itu adalah sia-sia. Biarlah Tuhan yang akan bekerja atas semua ini, kamu
jangan diperbudak kekhawatiranmu. Jawaban Tuhan adalah indah.” Ibu itu
menyunggingkan senyum yang kurasa mampu menghembuskan beban yang ada dalam
hatiku. Akupun mengucapkan terima kasih kepada perempuan itu dengan hati yang
sangat lega.
“Oh ya, kernet.
Tolong bilang pada supirnya aku turun di persimpangan jalan yang ada di depan
itu.” Ibu yang ada disampingku berkata kepada sang kernet bus. Beliau rupanya
sudah sampai di tujuan. Sambil menoleh ke arahku ibu itu berkata dengan lembut,
“ Duluan Ibu ya dek. Ingat, serahkan padaNya”. Dia berpesan padaku dengan
senyum yang tetap menghiasi bibirnya sambil melangkah turun. Bus kembali
melanjutkan perjalanan menuju kota Medan dengan perubahan baru yang aku
rasakan. “Ya, aku tidak perlu khawatir, Tuhan yang berkuasa”. Aku berkata dalam
hati dengan semangat baru yang kuperoleh berkat perempuan setengah baya seperjalanaku,
yang menurutku dikirim Tuhan untuk menolongku.
“Maafkan aku Tuhan,
yang sudah di kuasai kekhawatiran dan mengandalkan fikiranku. Kedalam kuasaMu
aku serahkan segala hidupku. Thanks God”. Aku tersenyum mengingat cara Tuhan
menolong anakNya. Dengan menyandarkan kepalaku, aku mencoba memejamkan mataku
yang memang sudah berat karena mengantuk, sambil menunggu bus yang kutumpangi
akan sampai di kota Medan.
“Janganlah kuatir, karena itu adalah
sia-sia. Ketika kekhawatiran memperbudakmu, engkau tidak akan dapat mendengar
perkataanNYA. Percayalah, jawaban Tuhan adalah INDAH.”
Kisah
ini di tulis berdasarkan kisah hidup seorang sahabat dengan beberapa perubahan,
yang saat ini masih menunggu jawaban dari Tuhan. ^_^
“Everything for YOU GOD”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar