Jumat, 16 Agustus 2013

CONSTELATION CHARACTER OF PROFFESSIONAL CHEMISTRY





Sejak dulu, aku senang mengamati kehidupan. Aku selalu tertarik menjadi semacam life observer, sejak aku menemukan fakta bahwa sebagian besar orang tak seperti bagaimana mereka tampaknya, dan begitu banyak orang yang salah dipahami. Di sisi lain, manusia gampang sekali menjatuhkan penilaian, judge minded. Aku suka mempelajari motivasi orang, mengapa ia berperilaku begitu, mengapa ia seperti ia adanya, bagaimana persfektifnya atas suatu situasi, apa saja aspektasinya. Ternyata apa yang ada di dalam kepala manusia seukuran batok kelapa bisa lebih kompleks dari konstelasi galaksi-galaksi Kawan, di situlah daya tarik terbesar menjadi seorang life – observer. Aku bergairah menemukan kelasku. Mahasiswa-mahasiswa dari beragam suku-bangsa di dalamnya membuat kelasku seperti laboratorium perilaku. Kelasku bukan sekedar ruang untuk belajar science tapi juga university of life. 

Selalu berkoar-koar seperti angsa trumpeter, tak lain orang-orang “ enam  liberal” Indonesia belahan barat. Mereka paling meriah dan bermulut besar. Belum selesai dosen bicara mereka tunjuk tangan: bertanya, berteori, membantah, mengeluh, protes, atau terang-terangan mengajak bertengkar. Namun meski mereka provokatif, konfrontasi mereka beradab. Ini tak lain produk sekolah yang membiasakan mereka berbeda pendapat secara positif sejak usia dini.

          Selain itu, kutemukan catatan yang unik atas beberapa makhluk yang suka sekali menempati sudut ruang kelas kuliah, dua pria terakhir dalam kelas dan seorang wanita setia. Aku tidak terlalu tahu ikatan apa yang telah mereka buat, antara seorang pria terakhir dengan wanita setia tadi. Aku hanya melihat mereka selalu beriringan, seperti gedung sekolah dengan benderanya (karena tentu saja, malam hari bendera diturunkan).

         

#Episode 2 (tamat)
          Terlebih dahulu kuberi tahu, Kawan! Aku sudah merevisi judul pada episode 1.

Tentang wanita setia, sepertinya lebih senang dipanggil “Nai”, penggalan nama depannya. Setiap melenggang dalam kelas, aku tahu, jika aku menemukan dia, kemungkinan besar aku juga akan menemukan salah satu pria terakhir-atau sebaliknya. Dan menurut dugaanku, dia menikmati tatapan kagumku akan kebersamaan mereka. Ia tersenyum berbunga-bunga.

          “Cari satu, temukan dua Ces,” bisik suara si enam orang liberal dari arah belakangku. Mungkin ungkapan temanku tadi agak berlebihan, tapi kuakui aku menemukan keuntungan dari keadaan itu. Seperti mendapatkan paket “buy one-get one free”. Karena jika aku mencari mereka ketika ada keperluan, aku akan langsung menemukan keduanya.

          Dengan menderetkan ke arah belakang dari sudut depan tempat pria terakhir dan wanita setia, aku akan menemukan kumpulan enam liberal yang selalu berkoar-koar dan sepertinya punya tenaga ekstra untuk itu. Selalu duduk di tempat duduk yang sama di tengah kelas sampai deret belakang, pasti hadir lima belas menit sebelum kelas, taktis, metodikal, dan sistematis adalah gelintir orang – orang belahan barat. Seperti sudah pantangannya duduk di depan dalam acara apa saja, selalu konsisten.

          Aku berpindah ke blok kiri ruang kelasku, dan tentu saja di sana, pada barisan depan berderet wanita Istiadat yang semlohai. Seorang di antara mereka tak pernah ribut, sering kikuk, layaknya orang yang sedang mengumpul-ngumpulkan kepercaan diri, walau kutahu itu tidaklah dibutuhkannya. Ini pasti akibat adat yang sangat dijiwai. Jika bicara, dia seperti berbisik-bisik saja. Dia sangat tenang, quite, sepi, tentram, persis kota kecil di Tarutung, pukul dua belas malam. Dan secara garis besar, dia adalah wanita pelupa, dia bisa lupa nama teman di antara tujuh belas orang dalam satu kelas, walau sudah bersama hampir setengah tahun.

          Bergeser ke kanan, wanita beringas akan duduk di sana.  Dia akan menyalak-nyalak jika ada yang “asing”, menyengat, bahkan siap menunjukkan taringnya jika ada yang tampak menyainginya. Aku menduga dia memegang prisip “ Be number uno,” yang di junjungnya tinggi-tinggi. Sangat suka sekali meruncingkan mulutnya jika ada hal yang tidak di sukainya. Tetapi wanita ini termasuk golongan gerilya. Dia akan berusaha sampai tetes keringat terbesar untuk melindungi kaumnya. Sebenarnya cukup kreatif, walau aku harus berhipotesis bukanlah teman baru yang baik. Aku harus berhati-hati pada wanita gerilya ini. Hatinya sulit ditebak, mood-nya tidak stabil, dan tampaknya siap menyalak kapan saja merasa terusik. Namun secara keseluruhan, aku menyimpulkan justru wanita gerilya inilah yang menjadi jantung “Wanita Istiadat”, memiliki hati paling tulus, murni! Dan realitanya, aku menyukainya, terlebih karena alasan yang sama, sama-sama Conanian.

          Wanita mungil dan menarik akan duduk di sebelah si jantung. Kukira dia menjadi bagian paru-paru dari kumpulan wanita semlohai. Awalnya dia paling tidak kusuka di antara mereka, terlalu semlohai. Tapi setelah kuamati lebih dalam dan dengan menggunakan salah satu metode dari berlaksa-laksa yang pernah kupelajari, wanita ini ibarat mesin-mesin otomotif yang siap memproses bahan baku. Cekatan, tidak sebanding dengan timbangan badannya. Dan tentu saja hal yang paling kusuka, ternyata dia memiliki humor dalam level tinggi, hampir sebanding denganku, kurasa. Aku membuat kesimpulan akhir dari si paling semlohai ini, hatinya jauh lebih besar dari pada kepalanya.

          Yang terakhir dari gelintir wanita semlohai adalah si wanita anggun, saking anggunnya, ku kira badannya akan pegal berbuat begitu. Pertama kali melihatnya, aku membayangkan “si Gale-Gale” yang ada di kampung halamanku, patung kayu, cara berjalannya terlalu di atur-atur. Baru kemudian ke-dua, ke-tiga, ke-empat, ke-lima dan ke-seterusnya, aku menyimpulkan “ Dia benar-benar wanita anggun”. Anggun dalam arti denotasi, lugas. Hatinya yang baik juga sebanding dengan keanggunannya, terlalu polos malah. Aku setuju dengan pendapat si jantung, dia ini termasuk wanita purba-kala yang terperangkap di zaman modern ini,  jelmaan Roro Jonggrang. 

          Dua wanita terusan berderet di belakang wanita istiadat. Selalu setia dengan baju terusannya, atau minimal bawahan rok maksimal. Mereka akan duduk tenteram memfokuskan mata pada filim korea dalam laptopnya. Kumpulan pecinta lelaki-lelaki korea cantik. Tidak banyak tingkah, tulus, tapi akan marah berapi-api jika ada yang menyinggung perasaannya. Dan di antara wanita terusan inilah aku mengendap, sibuk mengamati. Akulah laboran laboratorium ini.
          Akulah jiwa yang paling tersiksa akibat rutinitas kuliah yang monoton, hanya berisi tiga macam kejadian: kuliah, menonton kartun, dan belajar di asrama. Baru kali ini aku menemukan rutinitas yang menganiaya, karena habitatku tidak lebih dari dua kilo meter kuadrat. 

Minggu-minggu pertama perkuliahan, aku merasa tak enak hati, tanpa alasan jelas. Gejala ini semacam sixth-sense yang tumpul. Bisa tak berarti apa-apa, namun dalam banyak kejadian, sesuatu yang buruk akan menimpaku. Seorang teman pergi, menghianatiku, dan segera ku eliminasi dia dari populasiku. Janggal. Pahit.

Selalu sibuk memperhatikan dosen mengajar, bukanlah materi apa yang mereka ajarkan, tapi lebih kepada kata-kata unik yang kupercayai menggambarkan sifat mereka. Aku mempercayai mitos “Bahasa menunjukkan Bangsa”, artinya Pribadi seseorang dapat dibaca dari bahasanya. Sebenarnya aku kurang suka perkara sepele, hanya tertarik sesuatu yang besar dan revolusioner, akan tetapi aku tidak terlalu peduli dengan nilai. Ini adalah akibat cinta pada pepatah ayahku “Jadilah orang cerdas, bukan orang pandai.” Walau aku memiliki hati yang baik, faktanya aku menjaga jarak pada siapapun. Aku bertindak sebagai anomali air, akan sangat sulit untuk di tebak, Kawan! Memang sengaja bersikap aneh, karena akulah Sang Laboran. Secara umum, aku suka berkumpul dengan sesamaku, komunal, namun broad minded, dan akrab pada siapapun dan yang pasti penikmat maniak cerita misteri, sejenis Aoyama Gosho. Jadi, masih termasuk makhluk yang tidak berbahaya, aman, setidaknya tidak lebih mengancam dari pada rabies.

Note: Dilarang tersinggung!
          Tamat…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar