Sejak dulu, aku senang mengamati kehidupan. Aku selalu tertarik
menjadi semacam life observer, sejak
aku menemukan fakta bahwa sebagian besar orang tak seperti bagaimana mereka
tampaknya, dan begitu banyak orang yang salah dipahami. Di sisi lain, manusia
gampang sekali menjatuhkan penilaian, judge
minded. Aku suka mempelajari motivasi orang, mengapa ia berperilaku begitu,
mengapa ia seperti ia adanya, bagaimana persfektifnya atas suatu situasi, apa
saja aspektasinya. Ternyata apa yang ada di dalam kepala manusia seukuran batok
kelapa bisa lebih kompleks dari konstelasi galaksi-galaksi Kawan, di situlah
daya tarik terbesar menjadi seorang life
– observer. Aku bergairah menemukan kelasku. Mahasiswa-mahasiswa dari
beragam suku-bangsa di dalamnya membuat kelasku seperti laboratorium perilaku.
Kelasku bukan sekedar ruang untuk belajar science
tapi juga university of life.
Selalu berkoar-koar
seperti angsa trumpeter, tak lain orang-orang “ enam liberal” Indonesia belahan barat. Mereka
paling meriah dan bermulut besar. Belum selesai dosen bicara mereka tunjuk
tangan: bertanya, berteori, membantah, mengeluh, protes, atau terang-terangan
mengajak bertengkar. Namun meski mereka provokatif, konfrontasi mereka beradab.
Ini tak lain produk sekolah yang membiasakan mereka berbeda pendapat secara
positif sejak usia dini.
Selain
itu, kutemukan catatan yang unik atas beberapa makhluk yang suka sekali
menempati sudut ruang kelas kuliah, dua pria terakhir dalam kelas dan seorang
wanita setia. Aku tidak terlalu tahu ikatan apa yang telah mereka buat, antara
seorang pria terakhir dengan wanita setia tadi. Aku hanya melihat mereka selalu
beriringan, seperti gedung sekolah dengan benderanya (karena tentu saja, malam
hari bendera diturunkan).
#Episode 2 (tamat)
Terlebih
dahulu kuberi tahu, Kawan! Aku sudah merevisi judul pada episode 1.
Tentang wanita setia,
sepertinya lebih senang dipanggil “Nai”, penggalan nama depannya. Setiap
melenggang dalam kelas, aku tahu, jika aku menemukan dia, kemungkinan besar aku
juga akan menemukan salah satu pria terakhir-atau sebaliknya. Dan menurut
dugaanku, dia menikmati tatapan kagumku akan kebersamaan mereka. Ia tersenyum
berbunga-bunga.
“Cari
satu, temukan dua Ces,” bisik suara si enam
orang liberal dari arah belakangku. Mungkin ungkapan temanku tadi agak
berlebihan, tapi kuakui aku menemukan keuntungan dari keadaan itu. Seperti
mendapatkan paket “buy one-get one free”. Karena jika aku mencari mereka ketika
ada keperluan, aku akan langsung menemukan keduanya.
Dengan
menderetkan ke arah belakang dari sudut depan tempat pria terakhir dan wanita
setia, aku akan menemukan kumpulan enam liberal
yang selalu berkoar-koar dan sepertinya punya tenaga ekstra untuk itu. Selalu
duduk di tempat duduk yang sama di tengah kelas sampai deret belakang, pasti
hadir lima belas menit sebelum kelas, taktis, metodikal, dan sistematis adalah
gelintir orang – orang belahan barat. Seperti sudah pantangannya duduk di depan
dalam acara apa saja, selalu konsisten.
Aku
berpindah ke blok kiri ruang kelasku, dan tentu saja di sana, pada barisan depan
berderet wanita Istiadat yang semlohai. Seorang di antara mereka tak pernah ribut,
sering kikuk, layaknya orang yang sedang mengumpul-ngumpulkan kepercaan diri,
walau kutahu itu tidaklah dibutuhkannya. Ini pasti akibat adat yang sangat dijiwai.
Jika bicara, dia seperti berbisik-bisik saja. Dia sangat tenang, quite, sepi, tentram, persis kota kecil
di Tarutung, pukul dua belas malam. Dan secara garis besar, dia adalah wanita
pelupa, dia bisa lupa nama teman di antara tujuh belas orang dalam satu kelas,
walau sudah bersama hampir setengah tahun.
Bergeser
ke kanan, wanita beringas akan duduk di sana. Dia akan menyalak-nyalak jika ada yang
“asing”, menyengat, bahkan siap menunjukkan taringnya jika ada yang tampak
menyainginya. Aku menduga dia memegang prisip “ Be number uno,” yang di
junjungnya tinggi-tinggi. Sangat suka sekali meruncingkan mulutnya jika ada hal
yang tidak di sukainya. Tetapi wanita ini termasuk golongan gerilya. Dia akan
berusaha sampai tetes keringat terbesar untuk melindungi kaumnya. Sebenarnya
cukup kreatif, walau aku harus berhipotesis bukanlah teman baru yang baik. Aku
harus berhati-hati pada wanita gerilya ini. Hatinya sulit ditebak, mood-nya tidak stabil, dan tampaknya
siap menyalak kapan saja merasa terusik. Namun secara keseluruhan, aku
menyimpulkan justru wanita gerilya inilah yang menjadi jantung “Wanita Istiadat”, memiliki hati paling tulus, murni! Dan
realitanya, aku menyukainya, terlebih karena alasan yang sama, sama-sama Conanian.
Wanita
mungil dan menarik akan duduk di sebelah si
jantung. Kukira dia menjadi bagian paru-paru
dari kumpulan wanita semlohai. Awalnya dia paling tidak kusuka di antara
mereka, terlalu semlohai. Tapi setelah kuamati lebih dalam dan dengan
menggunakan salah satu metode dari berlaksa-laksa yang pernah kupelajari,
wanita ini ibarat mesin-mesin otomotif yang siap memproses bahan baku. Cekatan,
tidak sebanding dengan timbangan badannya. Dan tentu saja hal yang paling
kusuka, ternyata dia memiliki humor dalam level tinggi, hampir sebanding
denganku, kurasa. Aku membuat kesimpulan akhir dari si paling semlohai ini,
hatinya jauh lebih besar dari pada kepalanya.
Yang
terakhir dari gelintir wanita semlohai adalah si wanita anggun, saking
anggunnya, ku kira badannya akan pegal berbuat begitu. Pertama kali melihatnya,
aku membayangkan “si Gale-Gale” yang ada di kampung halamanku, patung kayu,
cara berjalannya terlalu di atur-atur. Baru kemudian ke-dua, ke-tiga, ke-empat,
ke-lima dan ke-seterusnya, aku menyimpulkan “ Dia benar-benar wanita anggun”. Anggun
dalam arti denotasi, lugas. Hatinya yang baik juga sebanding dengan
keanggunannya, terlalu polos malah. Aku setuju dengan pendapat si jantung, dia ini termasuk wanita
purba-kala yang terperangkap di zaman modern ini, jelmaan Roro
Jonggrang.
Dua
wanita terusan berderet di belakang wanita istiadat. Selalu setia dengan
baju terusannya, atau minimal bawahan rok
maksimal. Mereka akan duduk tenteram memfokuskan mata pada filim korea dalam
laptopnya. Kumpulan pecinta lelaki-lelaki korea cantik. Tidak banyak tingkah,
tulus, tapi akan marah berapi-api jika ada yang menyinggung perasaannya. Dan di
antara wanita terusan inilah aku mengendap, sibuk mengamati. Akulah laboran
laboratorium ini.
Akulah
jiwa yang paling tersiksa akibat rutinitas kuliah yang monoton, hanya berisi
tiga macam kejadian: kuliah, menonton kartun, dan belajar di asrama. Baru kali
ini aku menemukan rutinitas yang menganiaya, karena habitatku tidak lebih dari
dua kilo meter kuadrat.
Minggu-minggu pertama
perkuliahan, aku merasa tak enak hati, tanpa alasan jelas. Gejala ini semacam sixth-sense yang tumpul. Bisa tak
berarti apa-apa, namun dalam banyak kejadian, sesuatu yang buruk akan
menimpaku. Seorang teman pergi,
menghianatiku, dan segera ku eliminasi dia dari populasiku. Janggal. Pahit.
Selalu sibuk memperhatikan
dosen mengajar, bukanlah materi apa yang mereka ajarkan, tapi lebih kepada
kata-kata unik yang kupercayai menggambarkan sifat mereka. Aku mempercayai
mitos “Bahasa menunjukkan Bangsa”, artinya
Pribadi seseorang dapat dibaca dari bahasanya. Sebenarnya aku kurang suka
perkara sepele, hanya tertarik sesuatu yang besar dan revolusioner, akan tetapi
aku tidak terlalu peduli dengan nilai. Ini adalah akibat cinta pada pepatah ayahku
“Jadilah orang cerdas, bukan orang pandai.” Walau aku memiliki hati yang baik,
faktanya aku menjaga jarak pada siapapun. Aku bertindak sebagai anomali air,
akan sangat sulit untuk di tebak, Kawan! Memang sengaja bersikap aneh, karena
akulah Sang Laboran. Secara umum, aku suka berkumpul dengan sesamaku, komunal,
namun broad minded, dan akrab pada
siapapun dan yang pasti penikmat maniak cerita misteri, sejenis Aoyama Gosho. Jadi, masih termasuk
makhluk yang tidak berbahaya, aman, setidaknya tidak lebih mengancam dari pada rabies.
Note: Dilarang
tersinggung!
Tamat…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar