Aku ingin (sudah) bicara!
Ceritaku
ini bukanlah kisah ketika aku belajar bicara. Juga bukan aku tidak bisa bicara.
Perlu kutegaskan, aku dilahirkan sehat 100 % secara fisik maupun physicist.
Itulah informasi yang di tertulis pada data kelahiranku. Bahkan sampai saat
inipun aku masih tetap sehat, secara medis.
Setelah
sekian lama aku mencari – istilah yang pas untukku, akhirnya aku hanya bisa
melabeli diriku dengan “tidak bisa bicara”. Kenapa tidak bisa? Karena
sesungguhnya aku mampu, dan sesungguhnya tidak ada larangan untuk itu, menurut
undang-undang negeriku. Mungkin kau akan menyebutku tidak berani? Rasanya
tidak. Aku mengenal diriku sebagai “pemberani” setidaknya ketika di masa
kanak-kanak. Aku tumbuh dalam keluarga yang lengkap, dan special. Special karena
setiap anggota dalam keluargaku saling memperlakukan special satu-sama lain.
Sungguh sempurna menurutku. Sejak kecil aku dididik menjadi anak yang tegas,
bertanggung-jawab, dan tentu saja pemberani. Aku masih mengingat masa ketika
aku harus bertanggung-jawab untuk mencuci sepatu sekolahku walau usiaku belum
genap 6 tahun. Dengan segala usaha yang kumiliki, aku berusaha menjalankan
tugasku, walau pada akhirnya – kau tahu, aku hanya membuat sepatu itu tampak
semakin kumal. Aku akan diberi pujian oleh ayahku, meskipun kemudian ia akan
mencuci kembali sepatu itu. Tapi kata-kata ayahku membuatku berjanji dalam hati
“ minggu depan aku akan buat seperti yang dibuat ayah”.
Cerita itu
hanyalah segelintir dari usaha yang dilakukan keluargaku untuk membangun karakterku.
Hingga dewasa kinipun aku – rasaku masih memiliki hasil dari semua usaha itu.
Hingga tiba saatnya aku sadar, ada waktu dimana aku harus menerima segala
sesuatu dengan “pasrah”. Hanya akan hanya mampu mengikuti situasi yang ada,
walau kutahu, ini semua tidak tertulis. Bahkan ketika ingin menyatakan harus
sesuai dengan yang tertulis, aku tidak
bisa. Bukan aku tidak mampu, dan juga tidak ada larangan untuk itu, tapi
tetap saja aku tidak bisa.
Sering aku
“ingin (sudah) bicara”, tapi tetap saja aku tidak bisa. Bahkan aku hanya ingin
mengatakan sesuatu yang sudah jelas-jelas dijunjung tinggi dalam tulisan pun, aku tidak bisa. Semua
kepala manggut-manggut ketika akan membuat tulisan
itu. Semua mulut berkata “itu sangat baik dan adil” ketika akan menuliskan
aturan – aturan dalam tulisan itu. Tapi
yang ku tahu, tulisan itu hanya
pajangan indah sebagai hiasan dinding yang beradab. Karena pada akhirnya juga,
aku tidak bisa membicarakan isinya.
Aku masih
ingat, ketika keluargaku ingin mengganti cat dinding rumah, maka kami akan
terlebih dahulu mengadakan rapat besar. Setiap anggota diminta usul dan alasan
mengajukan warna yang disukai. Aku bebas mengeluarkan ideku, kesukaanku,
ketidaksukaanku, dan kami akan dengan senang hati menampungnya. Bahkan sampai
berlarut-larut manghabiskan malam yang panjang hingga kami peroleh keputusan
yang memuaskan – setidaknya dapat diterima oleh setiap anggota. Dan kau tahu?
Itu hanyalah kenagan masa kecilku. Karena ketika aku dewasa, aku bahkan tidak
bisa bicara.
Aku masih
belum bisa bicara, dan aku tidak tahu kapan aku bisa bicara. Aku hanya tahu aku
harus belajar bicara. Bicara dalam arti denotasi, lugas. Karena sudah terlalu
sering aku mengatupkan mulutku untuk tidak berkata-kata. Dan biasanya aku akan
mengigit semua kata-kata yang hampir terucap itu hingga lumat, dan menelannya
sampai tandas. Hasil akhirnya, aku akan mengeluarkan bunyi tidak beraturan dari
bibirku yang kuyakini sebagai residu dari proses pengunyahan yang kulakukan.
Jika aku sudah cukup lelah mengigiti kata-kataku, aku akan berlari pulang ke
rumah yang sudah kami ganti cat dindingnya itu. Aku ingin merasakan kembali
bagaimana aku sudah mampu bicara, walau sejujurnya lebih kepada mengobati
luka-luka di mulutku akibat terlalu keras dipakai mengigiti selama ini.
Aku berkemas,
ingin pulang untuk berbicara lagi. Kutinggalkan sejenak tempat dudukku, dan
menyetop bus yang akan membawaku ke kotak dimana aku akan bebas bicara.
Sekaligus mengobati luka-luka di mulutku. Tapi sebelumnya, aku tegaskan : “aku
akan kembali ke sini, dan aku akan (sudah) bicara”!
NB: aku
tidaklah sedang sariawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar