Jumat, 16 Agustus 2013

Aku ingin (sudah) bicara!



Aku ingin (sudah) bicara!

Ceritaku ini bukanlah kisah ketika aku belajar bicara. Juga bukan aku tidak bisa bicara. Perlu kutegaskan, aku dilahirkan sehat 100 % secara fisik maupun physicist. Itulah informasi yang di tertulis pada data kelahiranku. Bahkan sampai saat inipun aku masih tetap sehat, secara medis. 

Setelah sekian lama aku mencari – istilah yang pas untukku, akhirnya aku hanya bisa melabeli diriku dengan “tidak bisa bicara”. Kenapa tidak bisa? Karena sesungguhnya aku mampu, dan sesungguhnya tidak ada larangan untuk itu, menurut undang-undang negeriku. Mungkin kau akan menyebutku tidak berani? Rasanya tidak. Aku mengenal diriku sebagai “pemberani” setidaknya ketika di masa kanak-kanak. Aku tumbuh dalam keluarga yang lengkap, dan special. Special karena setiap anggota dalam keluargaku saling memperlakukan special satu-sama lain. Sungguh sempurna menurutku. Sejak kecil aku dididik menjadi anak yang tegas, bertanggung-jawab, dan tentu saja pemberani. Aku masih mengingat masa ketika aku harus bertanggung-jawab untuk mencuci sepatu sekolahku walau usiaku belum genap 6 tahun. Dengan segala usaha yang kumiliki, aku berusaha menjalankan tugasku, walau pada akhirnya – kau tahu, aku hanya membuat sepatu itu tampak semakin kumal. Aku akan diberi pujian oleh ayahku, meskipun kemudian ia akan mencuci kembali sepatu itu. Tapi kata-kata ayahku membuatku berjanji dalam hati “ minggu depan aku akan buat seperti yang dibuat ayah”. 

Cerita itu hanyalah segelintir dari usaha yang dilakukan keluargaku untuk membangun karakterku. Hingga dewasa kinipun aku – rasaku masih memiliki hasil dari semua usaha itu. Hingga tiba saatnya aku sadar, ada waktu dimana aku harus menerima segala sesuatu dengan “pasrah”. Hanya akan hanya mampu mengikuti situasi yang ada, walau kutahu, ini semua tidak tertulis. Bahkan ketika ingin menyatakan harus sesuai dengan yang tertulis, aku tidak bisa. Bukan aku tidak mampu, dan juga tidak ada larangan untuk itu, tapi tetap saja aku tidak bisa. 

Sering aku “ingin (sudah) bicara”, tapi tetap saja aku tidak bisa. Bahkan aku hanya ingin mengatakan sesuatu yang sudah jelas-jelas dijunjung tinggi dalam tulisan pun, aku tidak bisa. Semua kepala manggut-manggut ketika akan membuat tulisan itu. Semua mulut berkata “itu sangat baik dan adil” ketika akan menuliskan aturan – aturan dalam tulisan itu. Tapi yang ku tahu, tulisan itu hanya pajangan indah sebagai hiasan dinding yang beradab. Karena pada akhirnya juga, aku tidak bisa membicarakan isinya.

Aku masih ingat, ketika keluargaku ingin mengganti cat dinding rumah, maka kami akan terlebih dahulu mengadakan rapat besar. Setiap anggota diminta usul dan alasan mengajukan warna yang disukai. Aku bebas mengeluarkan ideku, kesukaanku, ketidaksukaanku, dan kami akan dengan senang hati menampungnya. Bahkan sampai berlarut-larut manghabiskan malam yang panjang hingga kami peroleh keputusan yang memuaskan – setidaknya dapat diterima oleh setiap anggota. Dan kau tahu? Itu hanyalah kenagan masa kecilku. Karena ketika aku dewasa, aku bahkan tidak bisa bicara.

Aku masih belum bisa bicara, dan aku tidak tahu kapan aku bisa bicara. Aku hanya tahu aku harus belajar bicara. Bicara dalam arti denotasi, lugas. Karena sudah terlalu sering aku mengatupkan mulutku untuk tidak berkata-kata. Dan biasanya aku akan mengigit semua kata-kata yang hampir terucap itu hingga lumat, dan menelannya sampai tandas. Hasil akhirnya, aku akan mengeluarkan bunyi tidak beraturan dari bibirku yang kuyakini sebagai residu dari proses pengunyahan yang kulakukan. Jika aku sudah cukup lelah mengigiti kata-kataku, aku akan berlari pulang ke rumah yang sudah kami ganti cat dindingnya itu. Aku ingin merasakan kembali bagaimana aku sudah mampu bicara, walau sejujurnya lebih kepada mengobati luka-luka di mulutku akibat terlalu keras dipakai mengigiti selama ini.

Aku berkemas, ingin pulang untuk berbicara lagi. Kutinggalkan sejenak tempat dudukku, dan menyetop bus yang akan membawaku ke kotak dimana aku akan bebas bicara. Sekaligus mengobati luka-luka di mulutku. Tapi sebelumnya, aku tegaskan : “aku akan kembali ke sini, dan aku akan (sudah) bicara”!


NB: aku tidaklah sedang sariawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar