Jumat, 16 Agustus 2013

CINTA KAPITALIS….



CINTA KAPITALIS….

            “AKU ini untuk urusan cintapun kapitalis ya?” kata seorang temanku suatu kali. Kali ini wajahnya serius.
            “Kapitalis? Maksudmu bagaimana?” tanyaku balik bertanya. Akhir-akhir ini kalau aku mengobrol dengannya memang suka nggak mudeng. Entah aku yang telmi atau memang bahasanya yang aneh-aneh dan nggak jelas, aku nggak tahu. ( tetapi sepertinya kesimpulan terakhir yang benar. He he he …! )

            “ Ya, Kapitalis. Maksudnya, tanpa sadar, aku mengharapkan balasan,” jawabnya singkat.

            Yup! Disadari atau tidak, sepertinya ada dorongan otomatis yang mengharapkan balasan balasan “yang setimpal” sewaktu kita mencintai orang lain. Penginnya harus sama-sama. Atau kalau bisa mendapat lebih. Lebih banyak cinta, gitu-lah! Jadi, ibarat orang bertepuk tangan, bisa berbunyi. PLOK! PLOK!PLOK! bukannya malah menampar angin atau Cuma berbunyi sekali dan pelan, “pluk!”atau, ibarat  orang yang mau bersalaman, kita berharap orang yang diajak bersalaman mau menerima uluran tangan kita. (kebayang kan betapa nggak enak hati ketika kita sudah mengulurkan tangan, tetapi ternyata orang itu sama sekali nggak menunjukkan tanda-tanda menanggapi? ) dan betapa susahnya tersenyum tulus ketika uluran tangan kita nggak ditanggapi.

            Tetapi toh keinginan itu nggak selamanya bisa terpenuhi. Hati orang kan nggak bisa ditebak. Dan kita nggak bisa memaksa orang lain untuk menerima cinta kita. Cinta itu nggak bisa dipaksakan. Dan, jika dipaksa, itu bukan cinta namanya.

            Eh, tetapi kupikir-pikir kalau sampai saat ini kita berpikir bahwa untuk urusan cinta-mencintai kita merasa harus mendapat balasan, betapa sempitnya pikiran kita sebenarnya.
            Sempit?
            Kok bisa?
Itu kan sudah hal yang wajar, begitu mungkin tanggapan banyak orang.

            Tetapi, coba kita berpikir lebih jauh. Kalau kita menempatkan cinta seperti itu, bukankah kita menempatkan cinta seperti barang dagangan? Maksudku, orang hanya mau memberikan cinta hanya jika cintanya mendapat balasan. Kalau enggak, buat apa susah-susah memberikan cinta? Atau, buat apa susah-susah melakukan tindakan cinta kalau enggak memberikan dampak yang menguntungkan bagi kita? Jadinya Cuma makan hati. Pahit dong! (Hiks!)

            Menurutku, cinta yang tulus atau cinta yang sejati itu justru cinta yang enggak mengharapkan balasan. (Ups!) itu menurutku sih. Atau lebih tepatnya, kita mencintai karena kita ingin ia justru bisa lebih maju dan menjadi pribadi yang lebih baik, agar rencana Tuhan dalam hidupnya tergenapi. Jadi, kalau kita melakukan “tindakan cinta” kepadanya hanya agar kebutuhan kita terpenuhi (misalnya yang paling gampang, “kebutuhan” untuk punya pacar), kita sebenarnya enggak mencintainya, tetapi mencintai diri sendiri, alias egois (terlalu ekstrim ya,,)
            Waduh! 

          Mungkin susah. Tetapi kalau kita ikhlas, kupikir enggak susah. (Justru yang susah adalah belajar untuk ikhlas.) dan, kupikir disinilah cinta yang tulus dan bermakna universal bisa diterapkan. Bukan Cuma cinta laki-laki dan perempuan, melainkan juga cinta antara orang tua dan anak, antarsahabat, antarsaudara. Contoh cinta sejati mungkin, yang paling gampang adalah tanah yang kita injak setiap hari. Biar ia diludahi, atau di injak-injak, ia tetap saja memberi kita makanan dengan menumbuhkan padi serta tanaman lain yang berguna bagi kita. Atau contoh, yang paling nyata, yaitu cinta Tuhan bagi kita. Biarpun kita kerap meninggalkan Dia karena kesibukan kita, Dia masih mau menyambut kita saat kita datang kepadaNya.

            Dan kurasa, pribadi yang paling merasakan pahitnya cinta yang terhianati atau yang nggak terbalas itu adalah Tuhan sendiri. Cinta Tuhan pasti bukan Cinta Kapitalis. Cinta Tuhan pasti juga bukan melulu karena berkenaan dengan perasaan. Indeed, love is about commitment. Tentang keiklasan juga….

                                                                        “.....Tuhan, Ngobrol yuk!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar