CINTA KAPITALIS….
“AKU ini untuk urusan cintapun kapitalis ya?” kata seorang
temanku suatu kali. Kali ini wajahnya serius.
“Kapitalis? Maksudmu bagaimana?”
tanyaku balik bertanya. Akhir-akhir ini kalau aku mengobrol dengannya memang
suka nggak mudeng. Entah aku yang telmi atau memang bahasanya yang aneh-aneh
dan nggak jelas, aku nggak tahu. ( tetapi sepertinya kesimpulan terakhir yang
benar. He he he …! )
“ Ya, Kapitalis. Maksudnya, tanpa
sadar, aku mengharapkan balasan,” jawabnya singkat.
Yup! Disadari atau tidak, sepertinya
ada dorongan otomatis yang mengharapkan balasan balasan “yang setimpal” sewaktu
kita mencintai orang lain. Penginnya harus sama-sama. Atau kalau bisa mendapat
lebih. Lebih banyak cinta, gitu-lah! Jadi, ibarat orang bertepuk tangan, bisa
berbunyi. PLOK! PLOK!PLOK! bukannya
malah menampar angin atau Cuma berbunyi sekali dan pelan, “pluk!”atau, ibarat orang
yang mau bersalaman, kita berharap orang yang diajak bersalaman mau menerima
uluran tangan kita. (kebayang kan betapa nggak enak hati ketika kita sudah
mengulurkan tangan, tetapi ternyata orang itu sama sekali nggak menunjukkan
tanda-tanda menanggapi? ) dan betapa susahnya tersenyum tulus ketika uluran
tangan kita nggak ditanggapi.
Tetapi toh keinginan itu nggak
selamanya bisa terpenuhi. Hati orang kan nggak bisa ditebak. Dan kita nggak bisa
memaksa orang lain untuk menerima cinta kita. Cinta itu nggak bisa dipaksakan.
Dan, jika dipaksa, itu bukan cinta namanya.
Eh, tetapi kupikir-pikir kalau
sampai saat ini kita berpikir bahwa untuk urusan cinta-mencintai kita merasa
harus mendapat balasan, betapa sempitnya pikiran kita sebenarnya.
Sempit?
Kok bisa?
Itu
kan sudah hal yang wajar, begitu mungkin tanggapan banyak orang.
Tetapi, coba kita berpikir lebih
jauh. Kalau kita menempatkan cinta seperti itu, bukankah kita menempatkan cinta
seperti barang dagangan? Maksudku, orang hanya mau memberikan cinta hanya jika
cintanya mendapat balasan. Kalau enggak, buat apa susah-susah memberikan cinta?
Atau, buat apa susah-susah melakukan tindakan cinta kalau enggak memberikan
dampak yang menguntungkan bagi kita? Jadinya Cuma makan hati. Pahit dong! (Hiks!)
Menurutku, cinta yang tulus atau
cinta yang sejati itu justru cinta yang enggak mengharapkan balasan. (Ups!) itu
menurutku sih. Atau lebih tepatnya, kita mencintai karena kita ingin ia justru
bisa lebih maju dan menjadi pribadi yang lebih baik, agar rencana Tuhan dalam
hidupnya tergenapi. Jadi, kalau kita melakukan “tindakan cinta” kepadanya hanya
agar kebutuhan kita terpenuhi (misalnya yang paling gampang, “kebutuhan” untuk
punya pacar), kita sebenarnya enggak mencintainya, tetapi mencintai diri
sendiri, alias egois (terlalu ekstrim ya,,)
Waduh!
Mungkin
susah. Tetapi kalau kita ikhlas, kupikir enggak susah. (Justru yang susah
adalah belajar untuk ikhlas.) dan, kupikir disinilah cinta yang tulus dan
bermakna universal bisa diterapkan. Bukan Cuma cinta laki-laki dan perempuan,
melainkan juga cinta antara orang tua dan anak, antarsahabat, antarsaudara.
Contoh cinta sejati mungkin, yang paling gampang adalah tanah yang kita injak
setiap hari. Biar ia diludahi, atau di injak-injak, ia tetap saja memberi kita
makanan dengan menumbuhkan padi serta tanaman lain yang berguna bagi kita. Atau
contoh, yang paling nyata, yaitu cinta Tuhan bagi kita. Biarpun kita kerap
meninggalkan Dia karena kesibukan kita, Dia masih mau menyambut kita saat kita
datang kepadaNya.
Dan kurasa, pribadi yang paling
merasakan pahitnya cinta yang terhianati atau yang nggak terbalas itu adalah
Tuhan sendiri. Cinta Tuhan pasti bukan Cinta Kapitalis. Cinta Tuhan pasti juga
bukan melulu karena berkenaan dengan perasaan. Indeed, love is about commitment. Tentang keiklasan juga….
“.....Tuhan,
Ngobrol yuk!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar